Ya, banyak sekali pertanyaan yang
muncul disaat membahas tentang Samalas. Bagaimana tidak, gunung yang letusannya
sangat dahsyat sampai melebihi besar letusan Gunung Tambora tentunya membuat
geger para peneliti. Jika letusan Gunung Tambora bisa berpengaruh sampai Eropa,
lantas bagaimana dengan letusan Gunung Samalas…..?
Gunung Samalas diperkirakan
meletus pada tahun 1257, memiliki ketinggian 7.000 Km diatas permukaan air
laut. Saat ini, gunung rinjani memilki ketinggian sekitar 3.700 Km, berarti
Gunung Samalas masih lebih tinggi sekitar 3.300 Km diatas Gunung Rinjani.
Pada tulisan ini saya hanya
menyampaikan dalam sudut pandang pribadi dari beberapa cerita, situs, bahkan
dari apa yang say abaca dari berbagai tulisan yang telah membahas Gunung Samalas.
Apa yang saya tulis ini hanya sebuah opini, dan tentunya tidak memiliki data
yang kuat sebagai pendukung, tetapi jika memilki kesepahaman yang sama atau
masuk akal menurut para pembaca, bisa kita lanjutnya melalui shering informasi.
Banyak yang membicarakan bentuk
pulau Lombok yang seperti payung, artinya pada bagian dalam bumi yang ada di
Lombok bentuk sangat kecil, dan lebar pada bagian daratannya.
Terdapatnya banyak gili atau
pulau kecil disekitar Lombok, beberapa diantaranya adalah Gili Kondo, Gili Air,
Gili Meno, Gili Trawangan dan masih ada lagi gili-gili lainnya.
Bentuk struktur daratan pulau Lombok
yang sangat miring, banyak bebatuan, terdapat pasir didataran tinggi, terdapat
banyak kalimati yang sangat dalam, padahal jarak dari pantai sampai pegunungan
(Gunung Rinjani, Stampol, dan Sangkareang) sangat dekat (sekitar 10-15 Km).
Ditemukan patung batu Bon Gontor
di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Batu tersebut masih dalam bentuk
kasar, memiliki kemiripan dengan patung Dewi Quan In. Lokasi patung ditemukan
oleh petani yang lagi membuat petakan sawah. Disekitar lokasi penemuan patung,
terdapat jurang yang sangat dalam (baian timur), banyaknya bebatuan dan juga
jenis peralatan rumah tangga pada zaman batu yang terbuat dari batu.
Dalam Masyarkat Bayan ada sebuah
dongeng tentang batas air laut, yaitu di Dusun Tunjung Biru yang ada di Desa
Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Lokasinya sekitar 9 Km dari pesisir laut
jawa. Sampai saat ini masih ada tanaman bamboo yang digunakan sebagi males
untuk memancing dizaman dulu.
Babad Lombok yang saat ini selalu
dijadikan sebagai refrensi bagi setiap peneliti maupun penulis yang menggali
tentang Gunung Samalas. Bahkan di Lombok Utara terdapat Lontar Babad Lombok
(maaf tidak saya sebutkan siapa dan dimana lontar ini disimpan, tetapi jika
ingin mengetahui secara pasti bisa kita bersama kelokasi tersebut).
Masyarakat yang tinggal di Bayan
adalah Masyarakat Adat Bayan, dimana dalam sisi kehidupannya sangat erat
hubungannya dengan keberadaan Gunung Rinjani. Hal ini bisa dilihat dari
pilososfinya yaitu Wetu Telu. Wetu Telu merupakan pilosofi hidup yang
dijalankan untuk menjaga alam yang terdiri dari 3 unsur, yaitu Menteloq
(bertelu), Menganak (beranak), dan Mentioq (tumbuh). Sisi lain juga bisa
dilihat dari bentuk arsitektur rumah sebagai tempat tinggal, yang mengadopsi 3
jenis lingkungan hidup. Pesisir, Dataran Tinggi, dan Hutan. Arsitektur yang ada terdapat Bale Panggung, Bale
Mengina, dan Bale Balaq.
Semua jenis arsitektur terbut,
selalu pada bagian atapnya menghadap gunung dan laut (selatan dan utara).
Bentuk ini juga erat hubungannya dengan serat kondisi alam yang memang rawan
terhadap bencana gempa.
Terdapat struktur adat yang
menjaga hutan, laut, dan pegunungan. Penjaga hutan disebut Perumbaq Daya,
penjaga laut disebut dengan Pertumbaq Lauq, dan penjaga gunung terdapat 3
struktur adat. Penjaga Gunung Rinjani pada bagian timur adalah Amaq Lokaq
Sajang, penjaga gunung pada bagian tengan (jalur danau segara anak) yaitu Amaq
Lokaq Torean, dan penjaga gunung bagian barat adalah Amaq Lokaq Senaru.
Danau Segara Anak yang
dikelilingi 3 gunung, yaitu Gunung Sangkareang, Gunung Stampol, dan Gunung
Rinjani.
Beberapa sumber informasi diatas
adalah dasar untuk saya menyimpulkan tentang bagaimana cerita Gunung Samalas di
Bayan. Baik, saya coba hubungkan dari masing-masing refrensi tersebut.
Pertama, Pulau Lombok
yang seperti Payung. Saya memilki pemikiran bahwa bentuk pulau Lombok karena
adanya Letusan Gunung Samalas yang mampu membuat daratan semakin luas dari
longsor letusannya.
Kedua, terdapat banyak
gili dan pulau kecil. Gunung Samalas yang meletus bisa saja telah membuat bayak
gili dan pulau kecil yang ada disekitar Lombok. Hal ini bisa kita bayangkan
dari besarnya letusan dan juga banyak material yang dikeluarkan pada saat
terjadinya letusan.
Ketiga, struktur daratan
pulau Lombok. Dari beberapa temen yang saya ajak diskusi tentang kondisi alam
yang ada di Bayan, mereka menyampaikan bahwa proses terjadinya kemiringan
bentuk bumi itu sesuai dengan luas wilayahnya, sementara di Lombok pada
umumnya, dan di Bayan pada khusunya, adalah salah satu pulau yang jaraj antara
gunung dan laut sangat dekat, sementara memilki beberapa bukit yang
disekitarnya terdapat jurang yang sangat dalam, sehingga disimpulkan bahwa pada
zaman dahulu pernah terjadi kejadian alam yang sangat dahsyat (dalam hal ini
tentunya yang dimaksud adalah letusan Gunung Samalas).
Keempat, Patung Batu Bon
Gontor. Banyaknya bebatuan yang ada disekitar patung, serta adanya beberapa
jenis peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu bisa diyakini wilayah
tersebut tertimbun oleh longsor letusan gunung (Gunung Samalas). Hal ini bisa kita
pahami bagaimana tempat yang ideal untuk tempat ibadah, tentunya adalah memilih
tempat yang lebih tinggi, sehingga tempat itu merupakan salah perkampungan
dizaman dahulu, dan bisa saja lokasi tersebut adalah batas antara air laut
dengan daratan.
Kelima, dongeng batas air
laut. Keberadaan bamboo sebagai salah satu alat untuk memancing pada zaman
dahulu yang ada di Tunjung Biru, jika ditarik garis ketempat ditemukannya
Patung Batu Bon Gontor, ternyata selarah (garis lurus). Maka cerita tentang
Biloq (Bambu) dikuatkan dengan bukti fisik Patung Batu yang keduanya merupakan
batas laut dengan daratan, dengan meletusnya Gunung Samalas sehingga iar
lautnya surut atau daratannya semakin luas.
Keenam, Babad Lombok.
Buku Babad Lombok yang menceritakan tentang waktu terjadinya letusan Gunung
Samalas, besar letusan, dan juga ketinggian gunung tersebut adalah salah satu
refrensi yang baik untuk rujukan, hal ini karena minimnya yang menceritakan
tentang kejadian alam tersebut. Keberadaan buku tersebut tentunya muncul atas
kejadian sebelumnya yang memang benar-benar terjadi, artinya bukan hanya sebuah
dongeng belaka yang dibuat-buat oleh penulisnya, bahkan sampai saat ini Babad
Lombok dalam tulisan Lontar masih disimpan oleh kelompok masyarakat.
Ketujuh, keberadaan
Masyarakat Adat Bayan. Pilosofi Wetu Telu Masyarakat Adat Bayan adalah untuk
menjaga siklus makhluk hidup yang ada di Bumi pada umumnya, dan Bayan pada
khususnya. Manusia (beranak) adalah pihak yang paling penting untuk mengatur
siklus tersebut, sehingga yang Tumbuh dan Bertelur dalam bumi (mikro dan makro)
tetap terjaga.
Kedelapan, jenis
arsitektur Masyarakat Adat Bayan. Bentuk dan bahan yang digunakan dalam
arsitektur tentunya melalui banyak tahap pada zaman dahulu, sehingga ditemukan
3 bentuk yang disesuaikan dengan kondisi alam dan juga lokasi pembangunannya.
Terkait arsitektur ini, sudah teruji oleh alam ditahun 2018 ini, sudah terdapat
gempa besar yaitu antara 6 – 7 SR, dan jenis bangunan local ini masih berdiri
tegaq. Jika kita memahami kondisi ini, tentunya bisa dipastikan bahwa Lombok
dengan keberadaan gunung merapi adalah salah satu wilayah yang rawan gempa.
Bentuk Bangunan local yang ada, terutama pada bagian atap rumah yang menghadap
Gunung dan Laut disesuaikan dengan ukuran rumah yang persegi dan tiangnya.
Serat bumi dari letusan Gunung Samalas yang saat ini dijadikan sebagai tempat
tinggal tentunya dari tinggi ketempat yang lebih rendah (gunung ke-laut),
disaat terjadi gempa, dominan retakan bumi selalui arah barat – timur, atau
sebaliknya. Sehingga sangat meyakinkan arsitektur local ini bisa bertahan
karena tiangnya lebih banyak pada bagian barat dan timur (rumah Masyarakat Adat
Bayan selalu menghadap timur atau barat, dan bagian atap/semboko mengarah
keselatan/gunung dan utara/laut).
Kesembilan, struktur adat
Bayan. Keberadaan Pejabat Adat yang menjaga semua sisi gunung (saat ini gunung
Rinjani, Stampol, dan Sangkareang) dan jalur pendakian tentunya sangat erat
hubungannya dengan seberapa besar pentingnya gunung itu dijaga untuk kehidupan.
Jika kita menghubungkan 3 gunung yang masih berdiri saat ini, itu adalah anak
gunung Samalas yang meletus, dimana Gunung Rinjani masih katif sebagai Gunung
merapi, sedangkan 2 gunung lainnya sudah tidak aktif.
Kesepuluh, Danau Segara
Anak. Ketinggian Gunung Samalas yang masih berada sekitar 3.300 Km diatas puncak
Gunung Rinjani bisa disimpulkan bahwa Rinjani dan 2 gunung lainnya merupakan
sisa letusan Gunung Samalas, dan Danau Segara Anak merupakan kalderanya, yang
adalam jangka waktu yang lama terisi oleh air dan membentuk sebuah danau.
Sepuluh sumber yang dapat saya
ceritakan dari pengetahuan pribadi saya melalui cerita para orang tua dan juga
beberapa informasi dari tulisan-tulisan memberikan gambaran yang begitu
mendalam terhadap Cerita Gunung Samalas di Bayan. Bagaimana cara masyarakatnya
hidup untuk berdampingan dengan alam, bahkan dalam hubungan social yang ada di
Masyarakat Adat Bayan. Bahkan masyarakat local yang ada di Bayan saya yakini
sebagai salah satu perdaban Masyarakat yang terakhir di Nusantara. Saya
menyimpulkan seperti ini karena dari struktur adat yang ada tidak ditemukan
jabatan yang lebih tinggi, semua dibedakan hanya dari fungsi dan wilayah kerja.
Melihat sisi lain juga ternyata
bisa dilihat dari bentuk fisik masyarakat lokalnya, ada yang warna kulitnya
hitam, coklat, putih, kuning. Terdapat juga dari ukurannya badan, diamana di
Bayan kita temukan orang-orang yang tinggi, pendek, dan sedang.
Melihat dari berbagai perbedaan
dan persamaan dalam semua sisi, sehingga saya menyimpulkan pasca meletusnya
Gunung Samalas telah mampu membuat geger para peneliti disleuruh dunia. Mereka
berdatangan ke pulau Lombok, membentuk perkampungan, bertani dan menjadi
nel;ayan untuk sumber makanan. Bertambahnya penduduk membuat mereka membuat
aturan-aturan untuk saling menjaga satu sama lainnya.
Itu adalah gambaran tentang apa
yang saya pahami tentang Cerita Gunung Samalas di Bayan. Semoga tulisan ini
menjadi benih-benih pertanyaan didiri kita, sehingga akan muncul beberapa
diskusi dan juga peneliti untuk membongkar kesejarahan. Tanpa sejarah, maka
kita tidak akan pernah tahu bagaimana untuk melangkah kedepan, karena masa
lampau sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita yang sekarang, dan
kehidupan kita yang sekarang merupakan pijakan untuk kehidupan kita yang
selanjutnya.
No comments:
Post a Comment