Beduk Masjid Kuno Bayan |
KEARIFAN LOKAL DAN WISATA BUDAYA
A. Kesenian lokal
Bagi komunitas Mettu Telu, tarian bukan hanya digunakan sebagai sarana hiburan atau hanya untuk bersenang-senang, tarian juga dimanfaatkan untuk tujuan ritual, pendidikan dan penyampaian pesan-pesan kepada masyarakat. Adapun kesenian lokal yang yang terdapat pada komunitas Mettu Telu antara lain:
1.1 Tarian suling dewa. Tarian ini merupakan tarian ritual yang dijalankan untuk mengingatkan masyarakat tentang pengalaman masa lalu nenek moyangnya dalam kegaiatan meminta hujan pada sang pencipta. Tarian ini dilakukan hanya pada saat ada ritual-ritual teretentu saja seperti, ritual ngaponin (pembersihan keris pusaka). Penarinya adalah laki-laki dan permpuan, tarian yang mereka lakukan tergantung dari jenis gending (alunan seruling) yang dimainkan. Ada terdapat beberapa jenis gending yang dimainkan oleh kesenian suling dewa diantaranya, bao daya, lembuneng beloang dan lain-lain. Tarian ini tidak memiliki alat music, hanya sebilah bambu yang panjangnya sekitar 1 meter sebagai seruling yang dimainkan oleh Amaq Aki, dan diiringi oleh lantunan suara perempuan yang disebut dengan Inaq aki.
1.2 Tarian Cupak Gurantang. Tarian yang diikuti dengan dialog atau sejenis drama seni, bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat utamanya gerenasi muda tentang kenyataan bahwa dalam diri manusia itu selalu memiliki sifat baik dan buruk. Penarinya laki-laki dan perempuan. Penarinya dilambangkan dengan orang yang bermuka buruk dan muka tampan. Orang yang bermuka buruk melambangkan orang prilaku yang bersifat buruk dan yang bermuka tampan digambarkan sebagai prilaku baik. Dalam dialognya memuat pesan-pesan perlunya berperilaku baik di dalam masyarakat.
1.3 Perisean, tradisi ini dilakukan dengan kegiatan saling adu ketangkasan para lelaki dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul dan perisai (ende) yang terbuat dari kulit binatang. Tradisi perisean ini dilaksanakan pada saat adanya acara ritual adat seperti Maulid Adat, dan juga pada saat adanya acara kitanan Gawe Beleq yang dilaksanakan sampai 4 malam berturut-turut.
1.4 Tarian Gegeroq Tandak. Tarian ini dimaksudkan sebagai bentuk permohonan kepada sang pencipta supaya mereka tidak diganggu roh jahat. Tidak menggunakan music, tetapi mengguanakan tembang dan pantun yang disuarakan oleh penari. Pantun atau sesenggak yang digunakan adalah yang mengandung unsure nasehat, sedangkan yang terlibat dalam kesenian gegerok tandak ini hanya laki-laki saja.
1.5 Tari tradional Rudat, ditarikan oleh kaum laki-laki dan perempuan diiringi rebana dan pantun. Memang untuk jenis rudat ini ada dua tergantung jenis alat music yang digunakan, jika menggunakan rebana maka nuansa islam dan ke melayunya sangat kental, untuk jenis ini biasanya penarinya hanya laki-laki saja. Sedangkan untuk jenis rudat lainnya menggunakan alat music yang disebut dengan penting, jenis alat music mirip dengan guitar, atau gambur, yang membedakan hanya pada alat kuncinya saja. Untuk rudat sejenis ini maka yang menjadi penari adalah laki-laki dan perempuan.
B. Pakaian adat
Bagi komunitas Mettu Telu sebagaimana komunitas adat lainnya memaknai pakaian adat tidak sekedar sebagai penanda identitas, tetapi juga menjadi pakaian khas yang dipakai pada saat perayaan atau ritual yang bersifat keagamaan. Pakain adat atau yang mereka sebut sebagai busana adat menjadi hal yang dianggap penting bagi pranata adat untuk acara-acara ritual adat. Adapun pakaian adat pada komunitas Mettu Telu antara lain:
1.1 Pakaian adat untuk perempuan
1) Jong ( penutup kepala) merupakan salah satu pakaian kebesaran yang digunakan oleh perempaun pada upacara adat. Makna dari Jong adalah penghimpun yang artinya perkumpulan. Kemampuan dari menghimpun hingga digunakan pada penutup kepala. Bentuk Jong ini segi empat tetapi harus dilipat sehingga menjadi segitiga.
2) Kemben (kain lipak) di pakai untuk penutup aurat di bagian dada perempuan.
3) Kain londong abang atau poleng (kotak-kotak) di pakai sebagai sarung pada perempuan.
4) Sampur adalah sebagai pengikat pinggang dan penutup pundak sebelah kiri, sebagai petanda pakaian adat pejabat perempuan. Pakaian ini merupakan produksi khas komunitas Mettu Telu di Bayan, sehingga dinamakan Jong Bayan.
1.2 Pakaian adat laki-laki
1) Sapuq (udeng) digunakan di kepala
2) Kain londong abang (polos merah), yang membedakan kain londong abang untuk perempuan dan laki-laki adalah pada sisi kain, jika sisi kain terdapat rambu-rambunya maka itu adalah pakaian untuk laki-laki, tetapi jika tidak itu merupakan kain untuk perempuan.
3) Dodot (sabuk), masyarakat adat menggunkan Rejasa atau disebut Dodot Rejasa. Dodot Rejasa ini di gunakan pada bagian pinggang untuk mengencangkan kain londong abang sehingga tidak terlepas, dodot ini juga digunakan sebagai sajadah oleh para kyai adat saat melakukan sholat di masjid kuno.
C. Situs-situs budaya/agama
Komunitas Mettu Telu memiliki situs budaya baik berupa bangunan maupun ukiran atau arca. Situs budaya dalam bentuk bangunan diantaranya telah diakui sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah. Beberapa situs budaya yang dimiliki oleh komunitas adat Mettu Telu diantaranya:
1.1 Masjid tua (masjid kuno Bayan)
1.2 Patung Budha di Bon Gontor, Desa Senaru.
1.3 Rumah-rumah adat dan ”kampu”, tempat berkumpulnya masyarakat adat untuk melaksanakan ritual adat
1.4 Lumbung sebagai tempat penyimpanan hasil-hasil panen. Jenis lumbung ini ada dua, yaitu Geleng dan Sambi.
1.5 Batu bolong yang ditemukan di desa Bon Gontor Desa Senaru, Kec. Bayan
1.6 Makam leluhur. Makan ini menjadi salah satu tempat ziarah. Makan leluhur ini dijaga oleh seorang juru kunci yang ditugaskan oleh pemerintah karena lokasi makam berada disekeliling masjid kuno Bayan yang sudah dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
D. Wisata Budaya
Selain obyek wisata yang berbentuk pemandangan panorama dan keindahan alam Indonesia pada umumnya, komunitas Mettu telu juga memeiliki potensi wisata alam yang mempesona dan sangat bervariasi. Selain obyek wisata alam, masyarakat adat Wetu Telu juga memiliki wisata budaya dan/atau wisata spiritual karena banyaknya perayaan adat atau juga perayaan spiritual yang unik. Beberapa bentuk obyek wisata alam dan budaya yang dimiliki oleh komunitas adat Mettu Telu diantaranya:
1.1 Wisata alam
Komunitas adat Mettu Telu yang berada di desa Karang Bajo, kecamatan Bayan kabupaten Lombok Utara pada umumnya memiliki obyek wisata alam yang beragam antara lain:
1) Pelabuhan Labuhan Carik berada di labuhan carik, desa Anyar, Bayan. Pada bulan –bulan tertentu, saat matahari berada dibagian sebelah utara kita bisa menikmati indahnya sunris dan sunset dari pelabuhan Labuhan Carik.
2) Air terjun Sindang Gile, terletak di desa Senaru kecamatan Bayan. Terdapat dua air terjun yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu, air terjun sindang gila, dan air terjun tiu kelep. Ditempat ini udaranya sangat bersih karena jauh dari jalan raya dan juga banyak pepohonan yang rindang disekitaran air terjun tersebut.
3) Kali Lokok Reak, Kali ini tidak pernah kering sepanjang tahun. Sumber airnya yang terbesar adalah dari air terjun sindang gila dan tiu kelep, ada juga dari mata air lainnya yang bersumber dari Lokok Peloq Desa Bayan.Aliran air sunggai ini digunakan untuk mencuci beras waktu upacara Adat, dan disebut dengan kali Masan Segah.
4) Gunung Rinjani, merupakan tujuan wisaya yang sudah mendunia. Setiap tahunnya pengunjung mencapai 3.000 lebih turis local maupun mancanegara yang mendaki di Taman Nasional Gunung Rinjani.
5) Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno merupakan 3 pulau kecil yang ada di Kecamatan Pemenang, ketiga gili tersebut menjadi tempat wisatawan asing yang sangat menyenangkan karena pemandangan bawah laut yang sangat indah dan juga pasir putihnya di sepanjang pesisir laut.
6) Gua Montong Majalangu, peninggalan Belanda di desa Tanjung, Kecamatan Tanjung.
7) Candi Budha, di desa Buani, Gondang, KLU.
1.2 Wisata budaya atau wisatan spiritual
Sementara potensi wisata budaya yang sifatnya untuk ziarah spiritual keagamaan yang terdapat di komunitas Mettu Telu antara lain:
1) Ritual Buang awu. Buang awu untuk memberikan nama bai/anak yang baru lahir akan dilaksanakan tergantung dari urip atau hari anak lahir, ada yang pelaksanaanya pada urip telu (3) yaitu tiga hari setelah anak lahir, ada yang urip lima yaitu lima hari setelah anak lahir dan ada juga yang nutulin yaitu sama harinya dengan kelahiran anak, disesuikan juga dengan bulan kelahiran. Sebelum melaksanakan acara ritual pemberian nama pada bayi tersebut, masyarakat adat melaksanakan ritual potong pusar atau yang mere sebut dengan “meretes”. Pelaksanaan meretes dilakukan oleh dukun beranak atau yang mereka sebut dengan “belian”.
Menurut keterangan para tetua adat, ritual adat “buang Awu “ ini merupakan ritual adat yang pertama yang diterima oleh seorang bayi. Sehingga ritual tersebut dinamakan buang awu. Ritual pemberian nama dilakukan oleh Kiyai Adat.
2) Potong rambut. Ritual potong rambut dalam tradisi Mettu Tellu disebut dengan “mengkuris”. Pelasanaan potong rambut dilaksanakan setelah bayi diberi nama. Pelaksaan ini dilakukan setelah orang tua bayi mampu melaksanakan ritual tersebut. Ritual ini dipimpin oleh , salah satu antara Kiyai, Lebe, kiyai Penghulu, Ketip dan mudim.
3) Qhitan, merupakan acara pemotongan sebagian venis anak laki-laki bagi umat muslim. Masyarakat Adat melaksanakannya dengan cara yang sedikit berbeda, dimana dalam pelaksanaannya harus dilkukan ziarah kubur (menyapu), menumbuk padi (menutu). Hari pelaksanaan yaitu hari minggu s/d senin untuk Karang Bajo, hari rabu s/d kamis untuk Loloan dan Bayan Timur (timuq orong), acara qhitan yang besar ada dua hari yaitu hari pertama disebut kayu aiq, dan hari kedua disebut gawe. Pada hari jum’at sebelum dan sesudah hari besar tersebut dilakukan Roah Jum’at, roah jum,at sebelumnya adalah untuk mebuka acara qhitanan, dan roah jum’at sesudahnya adalah untuk merangkap atau menutup rangkaian acara qhitan tersebut.
4) Ritual Memulang (merari) Menikah, dalam memulang atau perkawinan adat terdapat beberapa tahapan kegiatan ataupun prosesi adat yang dilakukan yaitu mulai dari penentuan saji kerama adat, perkawinan adat, dan terakhir adalah tampah wiring. Yang membedakan tradisi memulang dengan sebagian daerah lainnya yaitu tradisi kawin lari. Kawin lari merupakan tradisi yang sampai saat ini masih terpelihara, bahkan dalam masyarakat adat tidak diperbolehkan meminta atau melamar, tetapi harus dengan kawin lari. Hal ini bertujuan untuk memberikan hak asazi bagi setiap orang untuk menentukan pasangan hidupnya masing-masing tanpa ikut campur orang lain, bahkan orang tua sendiri.
5) Mendirikan rumah, rumah merupakan tempat kita melepaskan semua keluh kesah yang ada pada diri kita, karena dirumah inilaj kita akan berkumpul dengan orang-orang yang kita sayangi. Dalam membangun rumah, masyarakat adat memiliki beberapa tantangan atau aturan yang harus ditepati yaitu, Rumah harus menghadap timur atau barat, hal ini bertujuan untuk mendapatkan sinar matahari yang bisa langsung masuk rumah. Rumah harus saling berhadapan atau saling membelakangi, ini bertujuan untuk saling menghormati sesame manusia disekitar kita, lebih-lebih sama tetangga. Tanah tempat membangun rumah ini harus dilakukan sebuah ritual untuk bumi, yaitu membangar.
6) Selain itu komunitas adat Mettu telu memiliki kegiatan dalam melaksanakan ritual gama (agama) yang mereka yakini dan mereka jalankan secara turun temurun antara lain:
a. Ritual Roah Ulan, merupakan prosei adat untuk membersihkan bulan dalam satu tahun, karena masyarakat adat mengenggap bahwa dalam tiap bulan mesti ada kesalahan yang dilakukan oleh setiap manusia, dan untuk menyambut datangnya bulan suci yaitu bulan puasa (ramdhan) kita harus siap dengan keadaan bersih, baik manusianya maupun bulan-bulan yang telah kita lewati.
b. Sampet Jumat, adalah prosesi adat yang dilaksanakan di Kampu Karang Bajo untuk menutup semua ritual adat selama bulan puasa, baik di dalam Kampu maupun di rumah-rumah masyarakat. Yang boleh dilakukan hanya ritual untuk padi, kelahiran, dan kematian.
c. Lebaran Tinggi, merupakan prosesi yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk memeriahkan kemenangan karena telah melakukan puasa selama satu bulan penuh, dan ritual ini pada puncak acaranya dilakukan di Masjid Kuno Bayan.
Prosesi Lebaran Tinggi ini dilaksanakan selama dua (2) hari, yaitu hari pertama namanya “Kayu Aiq” dan hari kedua disebut “Gawe”.
1. Kayu Aiq
Hari pertama atau yang disebut dengan hari Kayu Aiq adalah segala kegiatan yang dilakukan sebagai persiapan pada puncak acara. Kegiatan yang dilakukan antara lain :
Menyapu di kubur ( seperti biasa )
Menjojo ke Gedeng Tengaq, kegiatan Ini dilaksanakan pada pagi hari, alat yang digunakan dinamakan “kedak” yang terbuat dari bambu. Kegiatan ini dilkukan dari Rumah amak Lokak Gantungan Rombong dengan membawa sirih dan sembek. Setelah menjojo, dilakukan menyembek di berugak ianan Menik. Urutan menjojo yaitu Amak Lokak Gantungan Rombong, walin Gumi, Pande, Pembekel, singgan dalem dan dari Masyarakat adat. Sembek yang digunakan pada saat menjojo akan digunakan untuk menyembek Masyarakat adat yang datang pada Perayaan lebaran adat. Menjojo dilakukan untuk membersihkan gedeng tengak dan juga menyamapaikan adanya pelaksanaan lebaran tinggi. Sisa air yang digunakan pada saat naik amben gedeng digunakan untuk membasuh kening sebelum menyembek.
Buat peset, wajik, gula kelapa
Peset, wajik, dan gula kelapa ini dibuat untuk sidekah kepada para kyai di Masjid Kuno, dan juga untuk menu makanan setelah kyai menyeblih pada hari yang kedua.
Menu ini dibuat oleh kaum perempuan, tetapi untuk kebutuhan santannya dilakukan oleh kaum pria.
Mengosap di Makam Reak dan mas Pengulu yang ada disekitar Masjid Kuno, kegiatan ini dilaksanakan setelah tindok kanak yaitu pada malam hari di atas jam sepuluh. Alat yang digunkan untuk mengosap adalah Usap. Yang ikut dalam prosesi ini yaitu dari pande, walin gumi, singgan dalem dan amak lokak gantungan rombong, yang jadi depan selalu bergantian setiap tahunnya.
Kegiatan yang dilakukan dalam Masjid Kuno :
A. Sholat Magrib
B. Tekang fitrah (segala kegirangan di Dunia) dan sidekah hari raya (berupa peset) ke Masjid Kuno untuk Kyai, dan selanjutnya Kyai yang membagikannya kembali kepada para Pemangku.
C. Sholat Isa dan shaolat minal witri dan witir,
D. Takbiran.
Dalam setiap melaksanakan ibadah di Masjid Kuno, para Kyai mempunyai tempat masing-masing, yaitu :
a. Sebelah utara mimbar : Kyai dari Raden Batu Gerantung
b. Sebelah selatan mimbar : Kyai Pengulu, Lebe, Ketip dan Mudim (yang peling utara akan menjadi imam), santri yang lainnya sebagai hotbah dan makmum.
c. Sebelah Utara pintu : Santri semokan
d. Sebelah selatan pintu : Jamaah santri umum
Sementara didalam tiang yang empat tidak digunakan untuk ibadah, itu dokosongkan sebagai tempat untuk orang yang mengengkat.
2. Gawe
Gawe merupakan hari pada puncak acara yaitu hari yang kedua. Pada puncak acara ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan yaitu :
Buat Ancak
Ancak merupakan wadah untuk menaruh nasi dan lauk yan terbuat dari bambu berbentuk segi empat. Ancak yang dibuat hanya 16, dan kalau Kyai Lebe 8.
Buat kelepon dan surabi
Kelepon dan surabi dibuat oleh kaum perempuan.
Serah ajian makam ke Kyai Penghulu dan Kyai Lebe (serah nasi jangan sesampak dan peset sesampak)
Mas Doa dari makam (surutang sembek mengosap), untuk Karang Bajo di makam reak dan makam Mas Pengulu
Meriap di berugaq Agung
Meriap adalah prosesi yang terakhir dalam lebaran adat, yaitu makan berama antara para kyai adat dan tokoh adat. Prosesi ini dilakukan di Berugak Agung . Untuk memulai meriap akan dipersilahkan (menyilak) oleh Amak Lokak Gantungan Rombong dengan menyampaikan semua niat dan nazar dari Mayarakat adat yang datang.
d. Lebaran Ketupat, dilaksanakan juga oleh masyarakat adat, yaitu seminggu setelah lebaran tinggi (idul fitri).
e. Hari Raya Idul Adha, Seperti halnya pada masyarakat Islam pada umumnya, masyarakat adat juga merayakan Hari Raya Idul Adha, tetapi harinya yang berbeda. Lebaran Haji atau masyarakat adat menyebutnya dengan Lebaran Pendek ini dilaksanakan di Masjid Kuno pada puncak acaranya.
f. Bubur Petak (putih), adalah ritual pembuatan bubur yang berwarna putih, acara ini dilaksnakan di areal Kampu Karang Bajo
g. Bubur Abang (merah), yaitu suatu ritual adat yang dilaksnakan oleh komunitas adat Bayan.
h. Maulid Nabi (mulud adat), dilaksnakan selama 2 hari, hari pertama yaitu hari persiapan, dan yang kedua adalah puncak acara. Ritual ini dilakukan untuk memperingati Nabi Besar Muhammad SAW. Pada Mulud Adat ini, yang terlibat adalah 4 kepembekelan, yaitu Karang Bajo, Bayan Timur (Timuk Orong), Bayan Barat (Bat Orong), dan Loloan.
A. Hari Pertama (kayu aiq)
Pada hari Kayu Aiq ini, ada beberpa prosesi yang dilaksanakan yaitu ;
1. Balen Unggun
Balen Unggun merupakan tempat menaruh sekam atau dedak padi, disamping itu juga Masyarakat adat menyiapkan tempat untuk menaruh alat-alat penumbuk padi yang di sebut “Tempan” tempan ini terbuat dari bambu.
2. Bisok Rantok
Rantok (Lesung Perahu)yang di gunakan untuk menumbuk padi perlu di bersihkan karena hanya di gunakan pada saat ritual adat tertentu. Pembersihan dilakuan oleh kaum pria yang tenaganhya masih kuat, dimana Rantok tersebut berukuran pada saat pembersihan dan pengeringan
3. Ngalu gerantung
Ngalu Gerantung adalah proses penjemputan “Gong” dan alat musik lainnya dari kampu Bat Orong (Bayan Barat) oleh warga masyarakat adat karang bajo, alat Gamelan yang di jemput ini di gunakan sebagai hiburan pada acara Mulud Adat Bayan dan sebagai pengiring pada saat acara presean (temetian), setelah rombongan penjemput Gerantung tiba di Karang Bajo “kampu” dilaksanakan acara penyambutan dan serah terima dengan ngaturang lekesan (sirih dan pinang), dan acara ritual “Taikan Mulud” dimulai.
4. Menutu
Menutu merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menumbuk padi menjadi beras. Proses menutu ini di lakukan oleh kaum perempuan, dan di laksanakan setelah “Gugur Kembang Waru” sekitar jam 15.30 waktu setempat.
Alat-alat yang digunakan adalah tempat yang terbuat dari bambu dan lesung perahu (rantok) yang terbuat dari kayu. Kaum perempuan yang ikut dalam proses menutu harus menggunakan busana yang berbeda dengan yang lainnya, yaitu dengan menggunakan “Jong” (ikat Kepala perempuan).
5. Tunggul
Tunggul adalah sebagai pemasang umbul-umbul yang terbuat dari bambututul yang akan dipajang pada setiap pojok Masjid kuno Bayan. Proses pencarian tunggul ini di pimpin oleh seorang pemangku yang disebut “Melokaq Penguban”. Proses ini dilakukan setelah mendapat perintah dari Inan Meniq yaitu dengan pemberian lekoq buaq (sirih dan pinang) oleh Inan Meniq kepada melokaq Penguban. Lekoq buaq ini merupakan suatu alat sebagai media bertabiq kepada pohon bambu yang akan di tebang.
Pencarian tunggul ini di lakukan oleh lima orang, dimana empat sebagai pembawa tunggul yaitu dari keturunan penguban, pembekel, melokaq gantungan rombong, pande, dan satu orang dari kalangan masyarakat adat sebagai pembawa bambu ikat.
6. Penjemputan Gong
Alat Musik Gong yang sudah berada di Kampu Karang Bajo di ambil kembali oleh masyarakat adat dari Bayan Barat, beserta satu ikat kayu bakar, satu ekor Ayam, kelapa danbeberapa bahan lain yang di gunakan untuk meengukup (mendo’akan) alat musik gong sebelum digunakan sebagai pengiring peresean/temetian.
7. Buang Unggun
Sekam padi yang di kumpulkan diatas balen unggun tersebut di buang kekali masaan segah yang letaknya sekitar 400 meter dari kampu karang bajo Dedaq beserta sekam itu di yakini oleh masyarakat Adat sebagai penyubur ikan yang ada di kali. Kaum Perempuan membawa sekam dan Dedaq sedangkan kaum Pria membawa tempan (Alat untuk menumbuk padi yang tersebut dari bambu).
8. Ngengelat dan Umbul-Umbul
Pada malam harinya bertepan dengan bulan purnama, para pemimpin adat dan Agama mulai melaksanakan “ngengelat” yaitu mendandani ruangan Masjid Kuno dengan kain yang memiliki simbol-simbol sarat (penuh) makna. Kain yang berwarna putih dan, biru di pasang pada langit-langit Masjid Kuno, sedang kain yang lainnya di pasang pada empat tiang Masjid tersebut.
Sementara diluar Masjid Kuno pelaksanaan pemasangan Umbul-Umbul, yaitu disetiap sudut dengan ujung Umbul-Umbul menghadap Masjid Kuno.
9. Temetian/Presean
Temetian/ presean merupakan suatu kesenian adu ketangkasan dua pria dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul (temeti) dan kulit binatang sebagai persiai (pelindung). Permainan ini terbuka untuk semua kalangan Masyarakat yang mau adu ketangkasan. Acara ini dilaksanakan di depan Masjid Kuno dengan di iringi olah alat musik Gong.
Para petarung (pepadu) yang sudah adu kemampuan harus bersalaman dan tidak di jadikan suatu dendam walaupun ada yang terluka. Jika salah satu ada yang merasa tidak mampu untuk menandingi lawan, amaka harus mengundurkan diri. Kesenian presean Mulud Adat merupakan tradisi Ritual yang dilakukan sejak berabad-abad dahulu.
II. Hari Kedua “Gawe”
Hari kedua tanggal 12 rabiul awal (Ton Jimahir) bertepan dengan tanggal 15 Rabiul Awal Tahun 1434 H / Tanggal 27 Januari Tahun 2013 M. adalah puncak acara yang disebut dengan “Gawe” acara gawe ini ada beberapa macam prosesi yang dilakukan yaitu ;
1) Menyemblih (sembelih)
Menyemblih merupakan kegiatan pemotongan sapi atau ternak yang di bawa oleh Masyarakat Adat. Ternak-ternak tersebut dipotong (disemblih) oleh kyai Adat yaitu kyai Lebe yang dibantu oleh santrinya.
2) Bisoq Meniq
Bisoq Meniq merupakan proses membersihkan beras yang sudah dibersihkan (tempik) dengan iringan-iringan panjang para perempuan adat dengan rapi berbaris dengan bakul-bakul beras di kepala menuju lokok (kali) “Masan segah” yang memang di khususkan untuk mencuci beras pada saat acara ritual Mulud Adat bayan dilaksanakannya, jaraknya sekitar 400 meter dari kampu Karang Bajo.
Bagi kaum pria, melaksanakan pemotongan ternak-ternak yang yang sudah dibawa oleh masyarakat adat. Ternak-ternak tersebut dipotong (disemblih) oleh Kyai Adat yaitu kyai Lebe.
3) Pengaluan Payung Agung
Paying Agung yang hanya di bawa oleh Amaq Lokaq Penguban di jemput oleh masyarakat Adat Bayan Barat, Bat Orong. Payung Agung tersebut di gunakan untuk memayungi pasangan pengantin pada saat Praja Mulud dari Bayan Barat ke Masjid kuno.
4) Ancak
Ancak adalah tempat digunakan untuk mengageq, yang terbuat dari bambu, berbentuk persegi dan di buat oleh kaum pria. Ancak ini merupakan sesuatu hidangan pada saat acara makan bersama di Masjid Kino oleh para pemuka Agama Adat, sedangkan untuk masyarakat adat makan bersama didalam kampu.
5) Mengageq
Mengageq yaitu menata hidangan diatas sebuah tempat yang terbuat dari bambu, yang dirancang sedemikian rupa hyang disebut dengan “Ancak” serta menata hidangan diatas “Sampa” yang terbuat dari kayu, yang nantinya dihidangkan pada saat acara di masjid kuno dan acara meriap di Berugak Agung. Mengageq ini hanya dilakukan oleh kaum perempuan.
6) Praja Mulud
Para Pemuda Adat yang di dandani menyerupai sepasang penganting yang di iring dari rumah “Pembekel Belq Bat Orong” (pemangku adat dari Bayan Barat) menuju Masjid Kuno dengan membawa sajian berupa hidangan seperti nasi dan lauq pauqnya (Ancak) “Praja mulud” ini menggambarkan proses terjadinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa yang di simbolkan dengan pasangan pengantin yang dilakukan oleh pranata-pranata Adat Bayan.
Rombongan Praja Mulud yang sudah masuk dalam Masjid Kuno duduk dengan rapi, salah satu pemuka Agama mempin do’a di lanjutkan dengan makan bersama. Kegiatan ini merupakan wujud rasa syukur warga Adat Sasak Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi perayaan kelahiran Nabi Muhammad. S.A.W yang di rayakan secara Adat.
7) Majang
Majang merupakan proses menghiasi “Berugak Agung” dengan menggunakan kain dan dilakukan oleh kaum perempuan berdasarkan garis keturunan yaitu; di tiang sebelah tenggara oleh Melokaq Gantungan rombong, tiang tengah timur oleh Penyunat, tiang timur laut oleh Pande, tiang barat laut oleh keturunan Kyai Lebe
8) Bisoq Berugaq Agung
Bisok berugaq Agung merupakan tugas dari dua orang laki-laki dari masyarakat adat. Hal ini di lakukan agar berugaq agung yang di gunakan sebagai tempat majang dan memblonyo dalam keadaan bersih dan suci.
9) Memblonyo
Memblonyo merupakan kegiatan pemberian tanda kepada Masyarakat Adat oleh wanita dari keturunan yang ikut dalam proses Majang tersebut. Blonyo ini adalah minyak yang terbuat dari kelapa “Mareng” yang dibuat oleh masyarakat Bat Orong, dimana kelapa tersebut di bawa dari masyarakat Adat Karang Bajo.
10) Meriap
Meriap adalah makan bersama di Berugaq Agung yang di hadiri oleh para undangan yang berasal dari Bat Orong, Plawangan, Timuq Orong, dan Pemuka Agama dan Adat dari Karang bajo.
Meriap dipimpin oleh Kyai Lebe yang di pesilaq (Permintaan) dari melokaq Gantungan Rombong. Meriap tersebut di layani oleh sebagian masyarakat untuk menambah makanan yang tersedia di “Sampaq” Kagungan
11) Melusut
Melusut adalah membuka kembali “Pajangan” (kain yang menghiasi Berugaq Agung) oleh masyarakat Adat setelah Pajangangan tersebut selesai maka seluruh rangkaian acara Mulud Adat selesai dan masyarakat kembali kerumah masing-masing.
E. Bahasa perekat persaudaraan dan pengelolaan Perdamaian
Komunitas adat Mettu Telu sebagaimana komunitas adat lainnya, masih memegang teguh tradisi gotong royong dengan semangat kekeluargaan. Sampai saat ini istilah gotong royong untuk saling menolong masih terus berlaku pada komunitas Mettu Telu misalnya mengangkat rumah untuk dipindahkan. Melalui gotong royong pemindahan rumah ini akan dapat dipetik banyak pelajaran sejak dari perencanaan bagaimana dan menggunakan alat apa, serta kekompakan dalam menganggat rumah yang akan dipindahkan.
F. Rumah Adat dan Rumah Ibadah
Komunitas adat Mettu Telu pada dasarnya menganut agama Islam. Bahkan mereka mengakui sebagai Muslim Sunni, yang merupakan wajah Islam dominan di Indonesia pada umumnya. Mereka disebut juga dengan sebutan Muslim Mettu Telu. Kekhasan model Islam dengan sebutan Mettu Telu seringkali dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam versi Sunni. Bahkan ada yang mengatakan Islam Mettu Telu adalah Muslim yang hanya melaksanakan ritual shalat dalam tiga waktu. Namun komunitas adat Mettu Telu membantah pandangan tersebut, meskipun mereka mengakui telah menambahkan wajah Islam dengan tradisi lokalnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa Komunitas Islam Mettu Telu merupakan varian lain dari Islam Nusantara.
Karena dalam komunitas Mettu Telu sifatnya menggabungkan tradisi Islam dengan budaya lokal, maka dalam perayaan keagamaan, unsur-unsur budaya lokal menjadi sangat dominan, sehingga bagi kelompok tertentu komunitas Mettu Telu dianggap menyimpang dari ajaran Islam dominan. Karena pembauran inilah bantuk-bentuk pranata sosial dan bangunan adat dan agama menjadi berbeda dengan Muslim pada umumnya. Perbedaan terjadi utamanya dalam hal bentuk bangunan masjid, yang saat ini menjadi masjid Tua dan pemanfaatannya hanya untuk ritual adat saja. Demikian juga dalam hal rumah adatnya.
1.1 Rumah adat. Komunitas adat Mettu Telu membangun rumah adat untuk pemangku atau pejabat adat yang disebut Amaq Lokaq Gantungan Rombong dalam sebuah komplek yang mereka sebut sebagai “Kampu”. Bangunan lain yang terdapat di dalam kampu adalah Berugaq Agung (tempat gendem/musawarah adat), berugaq malang (tempat memainkan music saat ritual, dan pada tiangnya sebagai tempat untuk mengikat ternak kambing yang dibawa saat acara adat), Pedangan (dapur), Inan Meniq (tempat untuk mengumpulkan padi), dan Gedeng Tengaq (gedengcor)
1.2 Masjid Kuno Bayan, terletak di antara komunitas adat Bat Orong (Bayan Barat) dan Timuq Orong (Bayan Timur) dengan komunitas Karang Bajo. Masjid kuno berdiri pada abad ke 16 sejak Islam pertama kali masuk di Bayan. Atap bangunan masjid terbuat dari bambu yang disebut Santek. Pagar dan dinding masjid terbuat dari bambu, posisi di atas bukit. Masjid Kuno digunakan sebagai tempat sholat terawih dan sholat iid saat idul fitri dan adha oleh kyai adat.
Di sekeliling masjid terdapat makam leluhur, yaitu makam reak, makan desanyar, makam sesait, makam mas pengulu.
1.3 Selain rumah adat utama yang ditempati oleh “Amaq lokaq” dan juga Masjid kuno, Pada komunitas Adat Mettu Tellu juga memiliki bangunan khusus yang mereka sebut dengan “Berugaq”. Fungsi utama dari “Berugaq” adalah sebagai tempat menerima para tamu. Ada beberapa jenis berugaq berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Berugak Agung
Berugak Agung merupakan berugak saka enem (tiang enam) yang tempatnya adalah di dalam Kampu Karang Bajo, berugak ini memiliki atap yang terbuat dari ilalang yang di gelit. Berugak Agung disemua bagian sampingnya tidak ditutupi oleh apapun juga seperti berugak-berugak di masing-masing rumah Masyarakat. Bagian bawah tidak memiliki pondasi, hanya terdapat batu sebagai penopang tiang-tiang berugak (Masyarakat Adat menyebutnya dengan nama cendi). Cendi ini memiliki fungsi untuk menjaga air supaya tidak membasahi tiang, sehingga tiang berugak tetap terjaga dan tidak cepat rusak/lapuk.
Fungsi Berugak Agung adalah sebagai tempat meriap (makan bersama) pada puncak acara ritual adat yang dilaksnakan di Kampu Karang Bajo, fungsi lainnya adalah sebagai tempat majang (menghiasi berugak) dan memblonyo pada saat ritual Maulid Adat (Idul Fitri secara Adat). Berugak ini juga merupakan sebagai tempat musyawarah besar (Gundem) untuk membicarakan pengangkatan pejabat adat, pelaksanaan ritual adat tertentu, dan juga untuk menetapkan sanksi jika terdapat Masyarakat Adat yang melanggar ketentuan Adat, serta sabagai tempat untuk Mengageq (Ancak).
b. Berugak Malang
Berugak Malang ini berada di sebelah timur Berugak Agung yang juga ada di Kampu Karang Bajo. Berugak Malang tidak jauh berbeda dengan Berugak Agung, dimana bagian bawahnya tidak memiliki pondasi hanya memiliki cendi, atapnya terbuat dari ialalang yang digelit, memiliki tiang enam dan bagian sampingnya tidak ditutupi oleh apapun, yang berbeda hanya pada fungsinya.
Fungsi dari Berugak Malang adalah sebagai tempat untuk menaruh dan memainkan alat music gong pada saat ritual Maulid Adat (Idul Fitri), dan juga sebagai tempat untuk mengikat kambing yang dibawa oleh Masyarakat Adat pada saat ritual adat sebelum dipotong, tempat mengikatnya adalah pada setiap tiang bagian bawah berugak. Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai tempat mengumpulkan semua ternak yang telah dipotong untuk dicincang menjadi bagian yang kecil-kecil, dalam proses ini yang memimpin adalah Aman Jangan yang dibantu oleh Masyarakat Adat lainnya.
c. Berugak Pengagean
Lokasi dari Berugak Pengagean ini sedikit berbeda dengan Berugak Agung dan Berugak Malang, dimana lokasi adalah di dalam areal pekarangan Perumbaq Tengaq (Amaq Lokaq Gantungan rombong), walaupun memang sama-sama berada di Dalam Kampu Karang Bajo. Bentuknya sama persis dengan dua berugak yang diatas, hanya memiliki fungsi yang beda.
Fungsi dari Berugak Pengagean adalah sebagai tempat untuk menyajikan semua makanan dalam sebuah wadah yang disebut Sampak, keiatan ini dilakukan dalam setiap ritual adat sebelum dilaksnakan meriap (makan bersama). Orang yang melakukan tugas ini adalah kaum perempuan, tetapi kegiatan menyiapkan makanan yang dilakukan oleh laki-laki hanya mengageq di Berugak Agung.
d. Berugak Pegat
Berugak Pegat ini sangat berbeda dengan berugak lainnya, diamana Berugak Pegat ini pada bagian tengahnya yang bisa kita lewati, karena memiliki tiang sebanyak 8, 4 tiang sebelah utara berbentuk saka emapat, dan 4 tiang sebelah selatan, dan di bagian tengahnya terputus walaupun atapnya terhubung antara bagian utara dan selatannya. Lokasi untuk Berugaq ini adalah di Karang Pande, pada tempat ini terdapat pejabat adat yaitu Amaq Lokaq Pande yang posisi rumahnya sebelah barat Berugak Pegat.
Fungsi Berugak Pegat adalah sebagai tempat untk merancang segala hal yang ada di Maysrakat Adat sebelum dibawa ke Berugak Agung, disini juga diputuskan setiap permasalahan terkait denga segala perubahan yang terjadi dalam Masyarakat Adat. Yang menjadi fungsi utama dari Berugak Pegat ini adalah sebagai tempat untuk membicarakan perkawinan Masyarakat Adat yang salah, yaitu perkawianan yang sudah silaranga oleh Masyarakat Adat seperti perkawinan dengan saudara kandung ibu atau bapak. Bagian atapnya terbuat dari ilalang juga yang di sepeq, tidak dalam bentuk gelitan.
Pada saat ini, Berugak Pegat ini sudah tidak ada tetapi masih dalam perencanaan pembuatan yang baru oleh Lembaga Pranata Adat Gubuk Karang Bajo-Bayan, hal ini terjadi karena pada masa lampau dimasa Orde Baru banyak oknum dari pejabat pemerintah yang sengaja ingin menghapus setiap ritual Masyarakat Adat salah satunya dengan cara menghilangkan Berugak Pegat sebagai tempat untuk mengambil keputusan adat jika terdapat perkawinan yang salah.
e. Berugak Saka Baluq (delapan)
Berugak Saka Baluq ini terdapat di Batu Gerantung, Desa Loloan. Berugak ini memiliki tiang sebanyak delapan, atapnya terbuat dari ilalang juga yang dibuat dengan di sepeq. Berugak ini paling besar diantara burugak-berugak lainnya, karena disini merupakan tempat berkumpulnya banyak orang untuk mengekskusi orang yang malakukan pelanggaran adat yang sangat berat. Pelanggaran berat yang dilakukan oleh Masyarakat Adat sanksinya ada dua yaitu, dibunuh atau dihanyutkan di laut.
Berugak Saka baluq inipun sekarang hanyalah sebuah cerita yang sangat diyakini oleh Masyarkat Adat, tetapi berugaqnya sudah tidak ada. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh bagian pemerintah Kabupaten Lombok Utara yaitu Kepala Bidang Kebudayaan Rianom, S. Sos menyatakan bahwa berugaq ini akan coba dibangun kembali untuk mengembalikan fungsi adat agar tetap terjaga dan lestari.
f. Berugak Saka Enem (enam)
Berugak Saka Enem merupakan berugak bagi Masyarakat Adat secara umum. Berugak ini wajib untuk tanah adat atau tanah gubuk, tidak boleh menggunakan Berugak Saka Empat. Berugaq Saka Enem yang ada di Masyarakat Adat tidak di bakukan untuk jenis atapnya, boleh terbuat dari genteng, seng, atau yang lainnya. Pada bagian bawah berugak selalu memiliki pondasi, karena pada berugak ini di bagian selatannya harus ditutup karena lokasi tidak dipagari seperti pada Kmapu Karang Bajo, sehingga banyak Masyarakat Adat membuat dapur pada bagian selatannya.
Fungsi Berugak Saka Enem adalah sebagai tempat meriap (makan bersama) pada puncak acara ritual yang dilaksanakan di rumah Masyarakat Adat, sebagai tempat ritual potong rambut (mengkuris), sebagai tempat menerima tamu, jika tamunya menginap maka sekaligus sebagai tempat menginapnya, sebagai tempat menyolatkan jenazah, sebagai tempat untuk mengaji pada acara kematian, dan juga sebagai tempat membaca lontar (bepaosan) bagi para pemaca pada saat ritual-ritual tertentu seperti kitanan dan kurisan.
Mengapa di tanah adat atau tanah gubuk harus Saka Enem……………….? Hal ini disebabkan karena tanah adat dan tanah gubuk bukan milik pribadi, dan juga untuk menjaga silaturrahmi dan social sesama tetangga, sehingga tempat untuk mendirikan berugak ini yaitu diantara dua rumah. Jika terdapat tamu diantara dua keluarga maka semua memiliki hak untuk menggunkan berugak tersebut, keluarga yang satu disebelah utara, dan keluarga yang lainnya disebelah selatan begitu juga sebaliknya. Hal inlah menyebabkan tidak boleh menggunakan Berugak Saka Empat, tetapi harus saka enam.
g. Berugak Saka Empat
Berugak Saka Empat merupakan berugak yang hanya memiliki empat tiang, dan tidak ada aturan sedikitpun dalam berugak ini. Berugak Saka Empat bagi Masyarakat Adat hanyalah sebagai berugak untuk di persawahan, karena berugak ini tidak bisa digunakan untuk ritual adat apapun, dan ini hanya menjadi berugak pribadi.
G. Tradisi Penyelenggaraan Jenazah
Penyelenggaraan kematian Komunitas adat Mettu Telu tidak terlalu berbeda dengan penyelenggaraan kematian yang dilakukan oleh umat muslim Pada umumnya. Kematian yang dalam istilah komunitas adat Mettu telu disebut kepaten, ini diselenggarakan menurut tradisi dengan cara dimandikan dua kali. Mandi pertama disebut dengan mandi kambal. Pada mandi pertama ini jenazah akan dibuatkan “boreh” atau beras yang di dipulas ke sekujur tubuh jenazah. Selesai dipulas dengan beras, anggota keluarga akan melakukan musyawarah keluarga untuk menentukan prosesi apakah dilanjutkan urutan kegiatan acara ritual pemakaman dan kesepakatan urutan-urutan acara ritual lainnya.
Musyawarah dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dari keluarga. Setelah setelah itu baru ditunjuk beberapa keluarga terdekat untuk menyampaikan pesan atau kesan dari keluarga yang meninggal tersebut. Dalam bahasa lokalnya disebut dengan menutut. Baru dilanjutkan pesilaq Kiyai Lebe, kiyai Penghulu, Ketip, mudim, Kiyai Santri, tua lokak.
Pada prosesi pemandian kedua disebut mandi suci yaitu memandikan jenazah dengan air, kemudian dikafankan hingga disholatkan, lalu dikuburkan. Hingga adanya acara saur tanaq (artinya bumi yang digali untuk tempat pemakaman atau penguburan hingga tanah tesebut tahu fungsi dari susur tanah tersebut). Prosesi dipimpin oleh Kiyai, Lebe, kiyai Penghulu, Ketip dan Kyai mudim.
Setelah selesai menyelenggarakan menyelenggarakan penguburan, maka akan diperingati tindak lanjut dari acara ritual daripada prosesi kepaten. Mulai dari acara ritual hari ketiga disebut dengan istilah nelung, dan pada hari ketiga ini masyarakat diundang untuk melaksanakan ritual adat yang diselenggarakan di rumah duka. Pada hari kelima diadakan acara ritual taek ajian, acara ini dimaksud pada malam hari dilaksanakannya pembacaan alqur’an oleh para kyai di berugaq saka enam rumah duka pada malam hari.
A. Kesenian lokal
Bagi komunitas Mettu Telu, tarian bukan hanya digunakan sebagai sarana hiburan atau hanya untuk bersenang-senang, tarian juga dimanfaatkan untuk tujuan ritual, pendidikan dan penyampaian pesan-pesan kepada masyarakat. Adapun kesenian lokal yang yang terdapat pada komunitas Mettu Telu antara lain:
1.1 Tarian suling dewa. Tarian ini merupakan tarian ritual yang dijalankan untuk mengingatkan masyarakat tentang pengalaman masa lalu nenek moyangnya dalam kegaiatan meminta hujan pada sang pencipta. Tarian ini dilakukan hanya pada saat ada ritual-ritual teretentu saja seperti, ritual ngaponin (pembersihan keris pusaka). Penarinya adalah laki-laki dan permpuan, tarian yang mereka lakukan tergantung dari jenis gending (alunan seruling) yang dimainkan. Ada terdapat beberapa jenis gending yang dimainkan oleh kesenian suling dewa diantaranya, bao daya, lembuneng beloang dan lain-lain. Tarian ini tidak memiliki alat music, hanya sebilah bambu yang panjangnya sekitar 1 meter sebagai seruling yang dimainkan oleh Amaq Aki, dan diiringi oleh lantunan suara perempuan yang disebut dengan Inaq aki.
Cupak Gurantang |
Perisean |
1.3 Perisean, tradisi ini dilakukan dengan kegiatan saling adu ketangkasan para lelaki dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul dan perisai (ende) yang terbuat dari kulit binatang. Tradisi perisean ini dilaksanakan pada saat adanya acara ritual adat seperti Maulid Adat, dan juga pada saat adanya acara kitanan Gawe Beleq yang dilaksanakan sampai 4 malam berturut-turut.
1.4 Tarian Gegeroq Tandak. Tarian ini dimaksudkan sebagai bentuk permohonan kepada sang pencipta supaya mereka tidak diganggu roh jahat. Tidak menggunakan music, tetapi mengguanakan tembang dan pantun yang disuarakan oleh penari. Pantun atau sesenggak yang digunakan adalah yang mengandung unsure nasehat, sedangkan yang terlibat dalam kesenian gegerok tandak ini hanya laki-laki saja.
1.5 Tari tradional Rudat, ditarikan oleh kaum laki-laki dan perempuan diiringi rebana dan pantun. Memang untuk jenis rudat ini ada dua tergantung jenis alat music yang digunakan, jika menggunakan rebana maka nuansa islam dan ke melayunya sangat kental, untuk jenis ini biasanya penarinya hanya laki-laki saja. Sedangkan untuk jenis rudat lainnya menggunakan alat music yang disebut dengan penting, jenis alat music mirip dengan guitar, atau gambur, yang membedakan hanya pada alat kuncinya saja. Untuk rudat sejenis ini maka yang menjadi penari adalah laki-laki dan perempuan.
B. Pakaian adat
Bagi komunitas Mettu Telu sebagaimana komunitas adat lainnya memaknai pakaian adat tidak sekedar sebagai penanda identitas, tetapi juga menjadi pakaian khas yang dipakai pada saat perayaan atau ritual yang bersifat keagamaan. Pakain adat atau yang mereka sebut sebagai busana adat menjadi hal yang dianggap penting bagi pranata adat untuk acara-acara ritual adat. Adapun pakaian adat pada komunitas Mettu Telu antara lain:
Pakaian Adat Perempuan |
1.1 Pakaian adat untuk perempuan
1) Jong ( penutup kepala) merupakan salah satu pakaian kebesaran yang digunakan oleh perempaun pada upacara adat. Makna dari Jong adalah penghimpun yang artinya perkumpulan. Kemampuan dari menghimpun hingga digunakan pada penutup kepala. Bentuk Jong ini segi empat tetapi harus dilipat sehingga menjadi segitiga.
2) Kemben (kain lipak) di pakai untuk penutup aurat di bagian dada perempuan.
3) Kain londong abang atau poleng (kotak-kotak) di pakai sebagai sarung pada perempuan.
4) Sampur adalah sebagai pengikat pinggang dan penutup pundak sebelah kiri, sebagai petanda pakaian adat pejabat perempuan. Pakaian ini merupakan produksi khas komunitas Mettu Telu di Bayan, sehingga dinamakan Jong Bayan.
Pakaian Adat Laki-Laki |
1) Sapuq (udeng) digunakan di kepala
2) Kain londong abang (polos merah), yang membedakan kain londong abang untuk perempuan dan laki-laki adalah pada sisi kain, jika sisi kain terdapat rambu-rambunya maka itu adalah pakaian untuk laki-laki, tetapi jika tidak itu merupakan kain untuk perempuan.
3) Dodot (sabuk), masyarakat adat menggunkan Rejasa atau disebut Dodot Rejasa. Dodot Rejasa ini di gunakan pada bagian pinggang untuk mengencangkan kain londong abang sehingga tidak terlepas, dodot ini juga digunakan sebagai sajadah oleh para kyai adat saat melakukan sholat di masjid kuno.
C. Situs-situs budaya/agama
Komunitas Mettu Telu memiliki situs budaya baik berupa bangunan maupun ukiran atau arca. Situs budaya dalam bentuk bangunan diantaranya telah diakui sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah. Beberapa situs budaya yang dimiliki oleh komunitas adat Mettu Telu diantaranya:
1.1 Masjid tua (masjid kuno Bayan)
1.2 Patung Budha di Bon Gontor, Desa Senaru.
1.3 Rumah-rumah adat dan ”kampu”, tempat berkumpulnya masyarakat adat untuk melaksanakan ritual adat
1.4 Lumbung sebagai tempat penyimpanan hasil-hasil panen. Jenis lumbung ini ada dua, yaitu Geleng dan Sambi.
1.5 Batu bolong yang ditemukan di desa Bon Gontor Desa Senaru, Kec. Bayan
1.6 Makam leluhur. Makan ini menjadi salah satu tempat ziarah. Makan leluhur ini dijaga oleh seorang juru kunci yang ditugaskan oleh pemerintah karena lokasi makam berada disekeliling masjid kuno Bayan yang sudah dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
D. Wisata Budaya
Selain obyek wisata yang berbentuk pemandangan panorama dan keindahan alam Indonesia pada umumnya, komunitas Mettu telu juga memeiliki potensi wisata alam yang mempesona dan sangat bervariasi. Selain obyek wisata alam, masyarakat adat Wetu Telu juga memiliki wisata budaya dan/atau wisata spiritual karena banyaknya perayaan adat atau juga perayaan spiritual yang unik. Beberapa bentuk obyek wisata alam dan budaya yang dimiliki oleh komunitas adat Mettu Telu diantaranya:
1.1 Wisata alam
Komunitas adat Mettu Telu yang berada di desa Karang Bajo, kecamatan Bayan kabupaten Lombok Utara pada umumnya memiliki obyek wisata alam yang beragam antara lain:
Labuhan Carik |
2) Air terjun Sindang Gile, terletak di desa Senaru kecamatan Bayan. Terdapat dua air terjun yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu, air terjun sindang gila, dan air terjun tiu kelep. Ditempat ini udaranya sangat bersih karena jauh dari jalan raya dan juga banyak pepohonan yang rindang disekitaran air terjun tersebut.
3) Kali Lokok Reak, Kali ini tidak pernah kering sepanjang tahun. Sumber airnya yang terbesar adalah dari air terjun sindang gila dan tiu kelep, ada juga dari mata air lainnya yang bersumber dari Lokok Peloq Desa Bayan.Aliran air sunggai ini digunakan untuk mencuci beras waktu upacara Adat, dan disebut dengan kali Masan Segah.
4) Gunung Rinjani, merupakan tujuan wisaya yang sudah mendunia. Setiap tahunnya pengunjung mencapai 3.000 lebih turis local maupun mancanegara yang mendaki di Taman Nasional Gunung Rinjani.
5) Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno merupakan 3 pulau kecil yang ada di Kecamatan Pemenang, ketiga gili tersebut menjadi tempat wisatawan asing yang sangat menyenangkan karena pemandangan bawah laut yang sangat indah dan juga pasir putihnya di sepanjang pesisir laut.
6) Gua Montong Majalangu, peninggalan Belanda di desa Tanjung, Kecamatan Tanjung.
7) Candi Budha, di desa Buani, Gondang, KLU.
1.2 Wisata budaya atau wisatan spiritual
Sementara potensi wisata budaya yang sifatnya untuk ziarah spiritual keagamaan yang terdapat di komunitas Mettu Telu antara lain:
1) Ritual Buang awu. Buang awu untuk memberikan nama bai/anak yang baru lahir akan dilaksanakan tergantung dari urip atau hari anak lahir, ada yang pelaksanaanya pada urip telu (3) yaitu tiga hari setelah anak lahir, ada yang urip lima yaitu lima hari setelah anak lahir dan ada juga yang nutulin yaitu sama harinya dengan kelahiran anak, disesuikan juga dengan bulan kelahiran. Sebelum melaksanakan acara ritual pemberian nama pada bayi tersebut, masyarakat adat melaksanakan ritual potong pusar atau yang mere sebut dengan “meretes”. Pelaksanaan meretes dilakukan oleh dukun beranak atau yang mereka sebut dengan “belian”.
Menurut keterangan para tetua adat, ritual adat “buang Awu “ ini merupakan ritual adat yang pertama yang diterima oleh seorang bayi. Sehingga ritual tersebut dinamakan buang awu. Ritual pemberian nama dilakukan oleh Kiyai Adat.
2) Potong rambut. Ritual potong rambut dalam tradisi Mettu Tellu disebut dengan “mengkuris”. Pelasanaan potong rambut dilaksanakan setelah bayi diberi nama. Pelaksaan ini dilakukan setelah orang tua bayi mampu melaksanakan ritual tersebut. Ritual ini dipimpin oleh , salah satu antara Kiyai, Lebe, kiyai Penghulu, Ketip dan mudim.
3) Qhitan, merupakan acara pemotongan sebagian venis anak laki-laki bagi umat muslim. Masyarakat Adat melaksanakannya dengan cara yang sedikit berbeda, dimana dalam pelaksanaannya harus dilkukan ziarah kubur (menyapu), menumbuk padi (menutu). Hari pelaksanaan yaitu hari minggu s/d senin untuk Karang Bajo, hari rabu s/d kamis untuk Loloan dan Bayan Timur (timuq orong), acara qhitan yang besar ada dua hari yaitu hari pertama disebut kayu aiq, dan hari kedua disebut gawe. Pada hari jum’at sebelum dan sesudah hari besar tersebut dilakukan Roah Jum’at, roah jum,at sebelumnya adalah untuk mebuka acara qhitanan, dan roah jum’at sesudahnya adalah untuk merangkap atau menutup rangkaian acara qhitan tersebut.
4) Ritual Memulang (merari) Menikah, dalam memulang atau perkawinan adat terdapat beberapa tahapan kegiatan ataupun prosesi adat yang dilakukan yaitu mulai dari penentuan saji kerama adat, perkawinan adat, dan terakhir adalah tampah wiring. Yang membedakan tradisi memulang dengan sebagian daerah lainnya yaitu tradisi kawin lari. Kawin lari merupakan tradisi yang sampai saat ini masih terpelihara, bahkan dalam masyarakat adat tidak diperbolehkan meminta atau melamar, tetapi harus dengan kawin lari. Hal ini bertujuan untuk memberikan hak asazi bagi setiap orang untuk menentukan pasangan hidupnya masing-masing tanpa ikut campur orang lain, bahkan orang tua sendiri.
5) Mendirikan rumah, rumah merupakan tempat kita melepaskan semua keluh kesah yang ada pada diri kita, karena dirumah inilaj kita akan berkumpul dengan orang-orang yang kita sayangi. Dalam membangun rumah, masyarakat adat memiliki beberapa tantangan atau aturan yang harus ditepati yaitu, Rumah harus menghadap timur atau barat, hal ini bertujuan untuk mendapatkan sinar matahari yang bisa langsung masuk rumah. Rumah harus saling berhadapan atau saling membelakangi, ini bertujuan untuk saling menghormati sesame manusia disekitar kita, lebih-lebih sama tetangga. Tanah tempat membangun rumah ini harus dilakukan sebuah ritual untuk bumi, yaitu membangar.
6) Selain itu komunitas adat Mettu telu memiliki kegiatan dalam melaksanakan ritual gama (agama) yang mereka yakini dan mereka jalankan secara turun temurun antara lain:
a. Ritual Roah Ulan, merupakan prosei adat untuk membersihkan bulan dalam satu tahun, karena masyarakat adat mengenggap bahwa dalam tiap bulan mesti ada kesalahan yang dilakukan oleh setiap manusia, dan untuk menyambut datangnya bulan suci yaitu bulan puasa (ramdhan) kita harus siap dengan keadaan bersih, baik manusianya maupun bulan-bulan yang telah kita lewati.
b. Sampet Jumat, adalah prosesi adat yang dilaksanakan di Kampu Karang Bajo untuk menutup semua ritual adat selama bulan puasa, baik di dalam Kampu maupun di rumah-rumah masyarakat. Yang boleh dilakukan hanya ritual untuk padi, kelahiran, dan kematian.
c. Lebaran Tinggi, merupakan prosesi yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk memeriahkan kemenangan karena telah melakukan puasa selama satu bulan penuh, dan ritual ini pada puncak acaranya dilakukan di Masjid Kuno Bayan.
Prosesi Lebaran Tinggi ini dilaksanakan selama dua (2) hari, yaitu hari pertama namanya “Kayu Aiq” dan hari kedua disebut “Gawe”.
1. Kayu Aiq
Hari pertama atau yang disebut dengan hari Kayu Aiq adalah segala kegiatan yang dilakukan sebagai persiapan pada puncak acara. Kegiatan yang dilakukan antara lain :
Menyapu di kubur ( seperti biasa )
Menjojo ke Gedeng Tengaq, kegiatan Ini dilaksanakan pada pagi hari, alat yang digunakan dinamakan “kedak” yang terbuat dari bambu. Kegiatan ini dilkukan dari Rumah amak Lokak Gantungan Rombong dengan membawa sirih dan sembek. Setelah menjojo, dilakukan menyembek di berugak ianan Menik. Urutan menjojo yaitu Amak Lokak Gantungan Rombong, walin Gumi, Pande, Pembekel, singgan dalem dan dari Masyarakat adat. Sembek yang digunakan pada saat menjojo akan digunakan untuk menyembek Masyarakat adat yang datang pada Perayaan lebaran adat. Menjojo dilakukan untuk membersihkan gedeng tengak dan juga menyamapaikan adanya pelaksanaan lebaran tinggi. Sisa air yang digunakan pada saat naik amben gedeng digunakan untuk membasuh kening sebelum menyembek.
Menjojo |
Buat peset, wajik, gula kelapa
Peset, wajik, dan gula kelapa ini dibuat untuk sidekah kepada para kyai di Masjid Kuno, dan juga untuk menu makanan setelah kyai menyeblih pada hari yang kedua.
Menu ini dibuat oleh kaum perempuan, tetapi untuk kebutuhan santannya dilakukan oleh kaum pria.
Mengosap di Makam Reak dan mas Pengulu yang ada disekitar Masjid Kuno, kegiatan ini dilaksanakan setelah tindok kanak yaitu pada malam hari di atas jam sepuluh. Alat yang digunkan untuk mengosap adalah Usap. Yang ikut dalam prosesi ini yaitu dari pande, walin gumi, singgan dalem dan amak lokak gantungan rombong, yang jadi depan selalu bergantian setiap tahunnya.
Kegiatan yang dilakukan dalam Masjid Kuno :
A. Sholat Magrib
B. Tekang fitrah (segala kegirangan di Dunia) dan sidekah hari raya (berupa peset) ke Masjid Kuno untuk Kyai, dan selanjutnya Kyai yang membagikannya kembali kepada para Pemangku.
C. Sholat Isa dan shaolat minal witri dan witir,
D. Takbiran.
Dalam setiap melaksanakan ibadah di Masjid Kuno, para Kyai mempunyai tempat masing-masing, yaitu :
a. Sebelah utara mimbar : Kyai dari Raden Batu Gerantung
b. Sebelah selatan mimbar : Kyai Pengulu, Lebe, Ketip dan Mudim (yang peling utara akan menjadi imam), santri yang lainnya sebagai hotbah dan makmum.
c. Sebelah Utara pintu : Santri semokan
d. Sebelah selatan pintu : Jamaah santri umum
Sementara didalam tiang yang empat tidak digunakan untuk ibadah, itu dokosongkan sebagai tempat untuk orang yang mengengkat.
2. Gawe
Gawe merupakan hari pada puncak acara yaitu hari yang kedua. Pada puncak acara ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan yaitu :
Buat Ancak
Ancak merupakan wadah untuk menaruh nasi dan lauk yan terbuat dari bambu berbentuk segi empat. Ancak yang dibuat hanya 16, dan kalau Kyai Lebe 8.
Buat kelepon dan surabi
Kelepon dan surabi dibuat oleh kaum perempuan.
Serah ajian makam ke Kyai Penghulu dan Kyai Lebe (serah nasi jangan sesampak dan peset sesampak)
Mas Doa dari makam (surutang sembek mengosap), untuk Karang Bajo di makam reak dan makam Mas Pengulu
Meriap di Berugaq Agung |
Meriap di berugaq Agung
Meriap adalah prosesi yang terakhir dalam lebaran adat, yaitu makan berama antara para kyai adat dan tokoh adat. Prosesi ini dilakukan di Berugak Agung . Untuk memulai meriap akan dipersilahkan (menyilak) oleh Amak Lokak Gantungan Rombong dengan menyampaikan semua niat dan nazar dari Mayarakat adat yang datang.
d. Lebaran Ketupat, dilaksanakan juga oleh masyarakat adat, yaitu seminggu setelah lebaran tinggi (idul fitri).
e. Hari Raya Idul Adha, Seperti halnya pada masyarakat Islam pada umumnya, masyarakat adat juga merayakan Hari Raya Idul Adha, tetapi harinya yang berbeda. Lebaran Haji atau masyarakat adat menyebutnya dengan Lebaran Pendek ini dilaksanakan di Masjid Kuno pada puncak acaranya.
f. Bubur Petak (putih), adalah ritual pembuatan bubur yang berwarna putih, acara ini dilaksnakan di areal Kampu Karang Bajo
g. Bubur Abang (merah), yaitu suatu ritual adat yang dilaksnakan oleh komunitas adat Bayan.
h. Maulid Nabi (mulud adat), dilaksnakan selama 2 hari, hari pertama yaitu hari persiapan, dan yang kedua adalah puncak acara. Ritual ini dilakukan untuk memperingati Nabi Besar Muhammad SAW. Pada Mulud Adat ini, yang terlibat adalah 4 kepembekelan, yaitu Karang Bajo, Bayan Timur (Timuk Orong), Bayan Barat (Bat Orong), dan Loloan.
A. Hari Pertama (kayu aiq)
Pada hari Kayu Aiq ini, ada beberpa prosesi yang dilaksanakan yaitu ;
1. Balen Unggun
Balen Unggun merupakan tempat menaruh sekam atau dedak padi, disamping itu juga Masyarakat adat menyiapkan tempat untuk menaruh alat-alat penumbuk padi yang di sebut “Tempan” tempan ini terbuat dari bambu.
2. Bisok Rantok
Rantok (Lesung Perahu)yang di gunakan untuk menumbuk padi perlu di bersihkan karena hanya di gunakan pada saat ritual adat tertentu. Pembersihan dilakuan oleh kaum pria yang tenaganhya masih kuat, dimana Rantok tersebut berukuran pada saat pembersihan dan pengeringan
3. Ngalu gerantung
Ngalu Gerantung adalah proses penjemputan “Gong” dan alat musik lainnya dari kampu Bat Orong (Bayan Barat) oleh warga masyarakat adat karang bajo, alat Gamelan yang di jemput ini di gunakan sebagai hiburan pada acara Mulud Adat Bayan dan sebagai pengiring pada saat acara presean (temetian), setelah rombongan penjemput Gerantung tiba di Karang Bajo “kampu” dilaksanakan acara penyambutan dan serah terima dengan ngaturang lekesan (sirih dan pinang), dan acara ritual “Taikan Mulud” dimulai.
4. Menutu
Menutu merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menumbuk padi menjadi beras. Proses menutu ini di lakukan oleh kaum perempuan, dan di laksanakan setelah “Gugur Kembang Waru” sekitar jam 15.30 waktu setempat.
Alat-alat yang digunakan adalah tempat yang terbuat dari bambu dan lesung perahu (rantok) yang terbuat dari kayu. Kaum perempuan yang ikut dalam proses menutu harus menggunakan busana yang berbeda dengan yang lainnya, yaitu dengan menggunakan “Jong” (ikat Kepala perempuan).
5. Tunggul
Tunggul adalah sebagai pemasang umbul-umbul yang terbuat dari bambututul yang akan dipajang pada setiap pojok Masjid kuno Bayan. Proses pencarian tunggul ini di pimpin oleh seorang pemangku yang disebut “Melokaq Penguban”. Proses ini dilakukan setelah mendapat perintah dari Inan Meniq yaitu dengan pemberian lekoq buaq (sirih dan pinang) oleh Inan Meniq kepada melokaq Penguban. Lekoq buaq ini merupakan suatu alat sebagai media bertabiq kepada pohon bambu yang akan di tebang.
Pencarian tunggul ini di lakukan oleh lima orang, dimana empat sebagai pembawa tunggul yaitu dari keturunan penguban, pembekel, melokaq gantungan rombong, pande, dan satu orang dari kalangan masyarakat adat sebagai pembawa bambu ikat.
6. Penjemputan Gong
Alat Musik Gong yang sudah berada di Kampu Karang Bajo di ambil kembali oleh masyarakat adat dari Bayan Barat, beserta satu ikat kayu bakar, satu ekor Ayam, kelapa danbeberapa bahan lain yang di gunakan untuk meengukup (mendo’akan) alat musik gong sebelum digunakan sebagai pengiring peresean/temetian.
7. Buang Unggun
Sekam padi yang di kumpulkan diatas balen unggun tersebut di buang kekali masaan segah yang letaknya sekitar 400 meter dari kampu karang bajo Dedaq beserta sekam itu di yakini oleh masyarakat Adat sebagai penyubur ikan yang ada di kali. Kaum Perempuan membawa sekam dan Dedaq sedangkan kaum Pria membawa tempan (Alat untuk menumbuk padi yang tersebut dari bambu).
8. Ngengelat dan Umbul-Umbul
Pada malam harinya bertepan dengan bulan purnama, para pemimpin adat dan Agama mulai melaksanakan “ngengelat” yaitu mendandani ruangan Masjid Kuno dengan kain yang memiliki simbol-simbol sarat (penuh) makna. Kain yang berwarna putih dan, biru di pasang pada langit-langit Masjid Kuno, sedang kain yang lainnya di pasang pada empat tiang Masjid tersebut.
Sementara diluar Masjid Kuno pelaksanaan pemasangan Umbul-Umbul, yaitu disetiap sudut dengan ujung Umbul-Umbul menghadap Masjid Kuno.
9. Temetian/Presean
Temetian/ presean merupakan suatu kesenian adu ketangkasan dua pria dengan menggunakan rotan sebagai alat pemukul (temeti) dan kulit binatang sebagai persiai (pelindung). Permainan ini terbuka untuk semua kalangan Masyarakat yang mau adu ketangkasan. Acara ini dilaksanakan di depan Masjid Kuno dengan di iringi olah alat musik Gong.
Para petarung (pepadu) yang sudah adu kemampuan harus bersalaman dan tidak di jadikan suatu dendam walaupun ada yang terluka. Jika salah satu ada yang merasa tidak mampu untuk menandingi lawan, amaka harus mengundurkan diri. Kesenian presean Mulud Adat merupakan tradisi Ritual yang dilakukan sejak berabad-abad dahulu.
II. Hari Kedua “Gawe”
Hari kedua tanggal 12 rabiul awal (Ton Jimahir) bertepan dengan tanggal 15 Rabiul Awal Tahun 1434 H / Tanggal 27 Januari Tahun 2013 M. adalah puncak acara yang disebut dengan “Gawe” acara gawe ini ada beberapa macam prosesi yang dilakukan yaitu ;
Menyemblih (Memotong Ternak) |
Menyemblih merupakan kegiatan pemotongan sapi atau ternak yang di bawa oleh Masyarakat Adat. Ternak-ternak tersebut dipotong (disemblih) oleh kyai Adat yaitu kyai Lebe yang dibantu oleh santrinya.
2) Bisoq Meniq
Bisoq Meniq merupakan proses membersihkan beras yang sudah dibersihkan (tempik) dengan iringan-iringan panjang para perempuan adat dengan rapi berbaris dengan bakul-bakul beras di kepala menuju lokok (kali) “Masan segah” yang memang di khususkan untuk mencuci beras pada saat acara ritual Mulud Adat bayan dilaksanakannya, jaraknya sekitar 400 meter dari kampu Karang Bajo.
Bisoq Meniq (Cuci Beras) |
Bagi kaum pria, melaksanakan pemotongan ternak-ternak yang yang sudah dibawa oleh masyarakat adat. Ternak-ternak tersebut dipotong (disemblih) oleh Kyai Adat yaitu kyai Lebe.
3) Pengaluan Payung Agung
Paying Agung yang hanya di bawa oleh Amaq Lokaq Penguban di jemput oleh masyarakat Adat Bayan Barat, Bat Orong. Payung Agung tersebut di gunakan untuk memayungi pasangan pengantin pada saat Praja Mulud dari Bayan Barat ke Masjid kuno.
4) Ancak
Ancak adalah tempat digunakan untuk mengageq, yang terbuat dari bambu, berbentuk persegi dan di buat oleh kaum pria. Ancak ini merupakan sesuatu hidangan pada saat acara makan bersama di Masjid Kino oleh para pemuka Agama Adat, sedangkan untuk masyarakat adat makan bersama didalam kampu.
5) Mengageq
Mengageq yaitu menata hidangan diatas sebuah tempat yang terbuat dari bambu, yang dirancang sedemikian rupa hyang disebut dengan “Ancak” serta menata hidangan diatas “Sampa” yang terbuat dari kayu, yang nantinya dihidangkan pada saat acara di masjid kuno dan acara meriap di Berugak Agung. Mengageq ini hanya dilakukan oleh kaum perempuan.
6) Praja Mulud
Para Pemuda Adat yang di dandani menyerupai sepasang penganting yang di iring dari rumah “Pembekel Belq Bat Orong” (pemangku adat dari Bayan Barat) menuju Masjid Kuno dengan membawa sajian berupa hidangan seperti nasi dan lauq pauqnya (Ancak) “Praja mulud” ini menggambarkan proses terjadinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa yang di simbolkan dengan pasangan pengantin yang dilakukan oleh pranata-pranata Adat Bayan.
Rombongan Praja Mulud yang sudah masuk dalam Masjid Kuno duduk dengan rapi, salah satu pemuka Agama mempin do’a di lanjutkan dengan makan bersama. Kegiatan ini merupakan wujud rasa syukur warga Adat Sasak Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi perayaan kelahiran Nabi Muhammad. S.A.W yang di rayakan secara Adat.
7) Majang
Majang merupakan proses menghiasi “Berugak Agung” dengan menggunakan kain dan dilakukan oleh kaum perempuan berdasarkan garis keturunan yaitu; di tiang sebelah tenggara oleh Melokaq Gantungan rombong, tiang tengah timur oleh Penyunat, tiang timur laut oleh Pande, tiang barat laut oleh keturunan Kyai Lebe
8) Bisoq Berugaq Agung
Bisok berugaq Agung merupakan tugas dari dua orang laki-laki dari masyarakat adat. Hal ini di lakukan agar berugaq agung yang di gunakan sebagai tempat majang dan memblonyo dalam keadaan bersih dan suci.
9) Memblonyo
Memblonyo merupakan kegiatan pemberian tanda kepada Masyarakat Adat oleh wanita dari keturunan yang ikut dalam proses Majang tersebut. Blonyo ini adalah minyak yang terbuat dari kelapa “Mareng” yang dibuat oleh masyarakat Bat Orong, dimana kelapa tersebut di bawa dari masyarakat Adat Karang Bajo.
10) Meriap
Meriap adalah makan bersama di Berugaq Agung yang di hadiri oleh para undangan yang berasal dari Bat Orong, Plawangan, Timuq Orong, dan Pemuka Agama dan Adat dari Karang bajo.
Meriap dipimpin oleh Kyai Lebe yang di pesilaq (Permintaan) dari melokaq Gantungan Rombong. Meriap tersebut di layani oleh sebagian masyarakat untuk menambah makanan yang tersedia di “Sampaq” Kagungan
11) Melusut
Melusut adalah membuka kembali “Pajangan” (kain yang menghiasi Berugaq Agung) oleh masyarakat Adat setelah Pajangangan tersebut selesai maka seluruh rangkaian acara Mulud Adat selesai dan masyarakat kembali kerumah masing-masing.
E. Bahasa perekat persaudaraan dan pengelolaan Perdamaian
Komunitas adat Mettu Telu sebagaimana komunitas adat lainnya, masih memegang teguh tradisi gotong royong dengan semangat kekeluargaan. Sampai saat ini istilah gotong royong untuk saling menolong masih terus berlaku pada komunitas Mettu Telu misalnya mengangkat rumah untuk dipindahkan. Melalui gotong royong pemindahan rumah ini akan dapat dipetik banyak pelajaran sejak dari perencanaan bagaimana dan menggunakan alat apa, serta kekompakan dalam menganggat rumah yang akan dipindahkan.
F. Rumah Adat dan Rumah Ibadah
Komunitas adat Mettu Telu pada dasarnya menganut agama Islam. Bahkan mereka mengakui sebagai Muslim Sunni, yang merupakan wajah Islam dominan di Indonesia pada umumnya. Mereka disebut juga dengan sebutan Muslim Mettu Telu. Kekhasan model Islam dengan sebutan Mettu Telu seringkali dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam versi Sunni. Bahkan ada yang mengatakan Islam Mettu Telu adalah Muslim yang hanya melaksanakan ritual shalat dalam tiga waktu. Namun komunitas adat Mettu Telu membantah pandangan tersebut, meskipun mereka mengakui telah menambahkan wajah Islam dengan tradisi lokalnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa Komunitas Islam Mettu Telu merupakan varian lain dari Islam Nusantara.
Karena dalam komunitas Mettu Telu sifatnya menggabungkan tradisi Islam dengan budaya lokal, maka dalam perayaan keagamaan, unsur-unsur budaya lokal menjadi sangat dominan, sehingga bagi kelompok tertentu komunitas Mettu Telu dianggap menyimpang dari ajaran Islam dominan. Karena pembauran inilah bantuk-bentuk pranata sosial dan bangunan adat dan agama menjadi berbeda dengan Muslim pada umumnya. Perbedaan terjadi utamanya dalam hal bentuk bangunan masjid, yang saat ini menjadi masjid Tua dan pemanfaatannya hanya untuk ritual adat saja. Demikian juga dalam hal rumah adatnya.
1.1 Rumah adat. Komunitas adat Mettu Telu membangun rumah adat untuk pemangku atau pejabat adat yang disebut Amaq Lokaq Gantungan Rombong dalam sebuah komplek yang mereka sebut sebagai “Kampu”. Bangunan lain yang terdapat di dalam kampu adalah Berugaq Agung (tempat gendem/musawarah adat), berugaq malang (tempat memainkan music saat ritual, dan pada tiangnya sebagai tempat untuk mengikat ternak kambing yang dibawa saat acara adat), Pedangan (dapur), Inan Meniq (tempat untuk mengumpulkan padi), dan Gedeng Tengaq (gedengcor)
1.2 Masjid Kuno Bayan, terletak di antara komunitas adat Bat Orong (Bayan Barat) dan Timuq Orong (Bayan Timur) dengan komunitas Karang Bajo. Masjid kuno berdiri pada abad ke 16 sejak Islam pertama kali masuk di Bayan. Atap bangunan masjid terbuat dari bambu yang disebut Santek. Pagar dan dinding masjid terbuat dari bambu, posisi di atas bukit. Masjid Kuno digunakan sebagai tempat sholat terawih dan sholat iid saat idul fitri dan adha oleh kyai adat.
Di sekeliling masjid terdapat makam leluhur, yaitu makam reak, makan desanyar, makam sesait, makam mas pengulu.
1.3 Selain rumah adat utama yang ditempati oleh “Amaq lokaq” dan juga Masjid kuno, Pada komunitas Adat Mettu Tellu juga memiliki bangunan khusus yang mereka sebut dengan “Berugaq”. Fungsi utama dari “Berugaq” adalah sebagai tempat menerima para tamu. Ada beberapa jenis berugaq berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Berugak Agung
Berugak Agung merupakan berugak saka enem (tiang enam) yang tempatnya adalah di dalam Kampu Karang Bajo, berugak ini memiliki atap yang terbuat dari ilalang yang di gelit. Berugak Agung disemua bagian sampingnya tidak ditutupi oleh apapun juga seperti berugak-berugak di masing-masing rumah Masyarakat. Bagian bawah tidak memiliki pondasi, hanya terdapat batu sebagai penopang tiang-tiang berugak (Masyarakat Adat menyebutnya dengan nama cendi). Cendi ini memiliki fungsi untuk menjaga air supaya tidak membasahi tiang, sehingga tiang berugak tetap terjaga dan tidak cepat rusak/lapuk.
Fungsi Berugak Agung adalah sebagai tempat meriap (makan bersama) pada puncak acara ritual adat yang dilaksnakan di Kampu Karang Bajo, fungsi lainnya adalah sebagai tempat majang (menghiasi berugak) dan memblonyo pada saat ritual Maulid Adat (Idul Fitri secara Adat). Berugak ini juga merupakan sebagai tempat musyawarah besar (Gundem) untuk membicarakan pengangkatan pejabat adat, pelaksanaan ritual adat tertentu, dan juga untuk menetapkan sanksi jika terdapat Masyarakat Adat yang melanggar ketentuan Adat, serta sabagai tempat untuk Mengageq (Ancak).
b. Berugak Malang
Berugak Malang ini berada di sebelah timur Berugak Agung yang juga ada di Kampu Karang Bajo. Berugak Malang tidak jauh berbeda dengan Berugak Agung, dimana bagian bawahnya tidak memiliki pondasi hanya memiliki cendi, atapnya terbuat dari ialalang yang digelit, memiliki tiang enam dan bagian sampingnya tidak ditutupi oleh apapun, yang berbeda hanya pada fungsinya.
Fungsi dari Berugak Malang adalah sebagai tempat untuk menaruh dan memainkan alat music gong pada saat ritual Maulid Adat (Idul Fitri), dan juga sebagai tempat untuk mengikat kambing yang dibawa oleh Masyarakat Adat pada saat ritual adat sebelum dipotong, tempat mengikatnya adalah pada setiap tiang bagian bawah berugak. Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai tempat mengumpulkan semua ternak yang telah dipotong untuk dicincang menjadi bagian yang kecil-kecil, dalam proses ini yang memimpin adalah Aman Jangan yang dibantu oleh Masyarakat Adat lainnya.
c. Berugak Pengagean
Lokasi dari Berugak Pengagean ini sedikit berbeda dengan Berugak Agung dan Berugak Malang, dimana lokasi adalah di dalam areal pekarangan Perumbaq Tengaq (Amaq Lokaq Gantungan rombong), walaupun memang sama-sama berada di Dalam Kampu Karang Bajo. Bentuknya sama persis dengan dua berugak yang diatas, hanya memiliki fungsi yang beda.
Fungsi dari Berugak Pengagean adalah sebagai tempat untuk menyajikan semua makanan dalam sebuah wadah yang disebut Sampak, keiatan ini dilakukan dalam setiap ritual adat sebelum dilaksnakan meriap (makan bersama). Orang yang melakukan tugas ini adalah kaum perempuan, tetapi kegiatan menyiapkan makanan yang dilakukan oleh laki-laki hanya mengageq di Berugak Agung.
d. Berugak Pegat
Berugak Pegat ini sangat berbeda dengan berugak lainnya, diamana Berugak Pegat ini pada bagian tengahnya yang bisa kita lewati, karena memiliki tiang sebanyak 8, 4 tiang sebelah utara berbentuk saka emapat, dan 4 tiang sebelah selatan, dan di bagian tengahnya terputus walaupun atapnya terhubung antara bagian utara dan selatannya. Lokasi untuk Berugaq ini adalah di Karang Pande, pada tempat ini terdapat pejabat adat yaitu Amaq Lokaq Pande yang posisi rumahnya sebelah barat Berugak Pegat.
Fungsi Berugak Pegat adalah sebagai tempat untk merancang segala hal yang ada di Maysrakat Adat sebelum dibawa ke Berugak Agung, disini juga diputuskan setiap permasalahan terkait denga segala perubahan yang terjadi dalam Masyarakat Adat. Yang menjadi fungsi utama dari Berugak Pegat ini adalah sebagai tempat untuk membicarakan perkawinan Masyarakat Adat yang salah, yaitu perkawianan yang sudah silaranga oleh Masyarakat Adat seperti perkawinan dengan saudara kandung ibu atau bapak. Bagian atapnya terbuat dari ilalang juga yang di sepeq, tidak dalam bentuk gelitan.
Pada saat ini, Berugak Pegat ini sudah tidak ada tetapi masih dalam perencanaan pembuatan yang baru oleh Lembaga Pranata Adat Gubuk Karang Bajo-Bayan, hal ini terjadi karena pada masa lampau dimasa Orde Baru banyak oknum dari pejabat pemerintah yang sengaja ingin menghapus setiap ritual Masyarakat Adat salah satunya dengan cara menghilangkan Berugak Pegat sebagai tempat untuk mengambil keputusan adat jika terdapat perkawinan yang salah.
e. Berugak Saka Baluq (delapan)
Berugak Saka Baluq ini terdapat di Batu Gerantung, Desa Loloan. Berugak ini memiliki tiang sebanyak delapan, atapnya terbuat dari ilalang juga yang dibuat dengan di sepeq. Berugak ini paling besar diantara burugak-berugak lainnya, karena disini merupakan tempat berkumpulnya banyak orang untuk mengekskusi orang yang malakukan pelanggaran adat yang sangat berat. Pelanggaran berat yang dilakukan oleh Masyarakat Adat sanksinya ada dua yaitu, dibunuh atau dihanyutkan di laut.
Berugak Saka baluq inipun sekarang hanyalah sebuah cerita yang sangat diyakini oleh Masyarkat Adat, tetapi berugaqnya sudah tidak ada. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh bagian pemerintah Kabupaten Lombok Utara yaitu Kepala Bidang Kebudayaan Rianom, S. Sos menyatakan bahwa berugaq ini akan coba dibangun kembali untuk mengembalikan fungsi adat agar tetap terjaga dan lestari.
f. Berugak Saka Enem (enam)
Berugak Saka Enem merupakan berugak bagi Masyarakat Adat secara umum. Berugak ini wajib untuk tanah adat atau tanah gubuk, tidak boleh menggunakan Berugak Saka Empat. Berugaq Saka Enem yang ada di Masyarakat Adat tidak di bakukan untuk jenis atapnya, boleh terbuat dari genteng, seng, atau yang lainnya. Pada bagian bawah berugak selalu memiliki pondasi, karena pada berugak ini di bagian selatannya harus ditutup karena lokasi tidak dipagari seperti pada Kmapu Karang Bajo, sehingga banyak Masyarakat Adat membuat dapur pada bagian selatannya.
Fungsi Berugak Saka Enem adalah sebagai tempat meriap (makan bersama) pada puncak acara ritual yang dilaksanakan di rumah Masyarakat Adat, sebagai tempat ritual potong rambut (mengkuris), sebagai tempat menerima tamu, jika tamunya menginap maka sekaligus sebagai tempat menginapnya, sebagai tempat menyolatkan jenazah, sebagai tempat untuk mengaji pada acara kematian, dan juga sebagai tempat membaca lontar (bepaosan) bagi para pemaca pada saat ritual-ritual tertentu seperti kitanan dan kurisan.
Mengapa di tanah adat atau tanah gubuk harus Saka Enem……………….? Hal ini disebabkan karena tanah adat dan tanah gubuk bukan milik pribadi, dan juga untuk menjaga silaturrahmi dan social sesama tetangga, sehingga tempat untuk mendirikan berugak ini yaitu diantara dua rumah. Jika terdapat tamu diantara dua keluarga maka semua memiliki hak untuk menggunkan berugak tersebut, keluarga yang satu disebelah utara, dan keluarga yang lainnya disebelah selatan begitu juga sebaliknya. Hal inlah menyebabkan tidak boleh menggunakan Berugak Saka Empat, tetapi harus saka enam.
g. Berugak Saka Empat
Berugak Saka Empat merupakan berugak yang hanya memiliki empat tiang, dan tidak ada aturan sedikitpun dalam berugak ini. Berugak Saka Empat bagi Masyarakat Adat hanyalah sebagai berugak untuk di persawahan, karena berugak ini tidak bisa digunakan untuk ritual adat apapun, dan ini hanya menjadi berugak pribadi.
G. Tradisi Penyelenggaraan Jenazah
Penyelenggaraan kematian Komunitas adat Mettu Telu tidak terlalu berbeda dengan penyelenggaraan kematian yang dilakukan oleh umat muslim Pada umumnya. Kematian yang dalam istilah komunitas adat Mettu telu disebut kepaten, ini diselenggarakan menurut tradisi dengan cara dimandikan dua kali. Mandi pertama disebut dengan mandi kambal. Pada mandi pertama ini jenazah akan dibuatkan “boreh” atau beras yang di dipulas ke sekujur tubuh jenazah. Selesai dipulas dengan beras, anggota keluarga akan melakukan musyawarah keluarga untuk menentukan prosesi apakah dilanjutkan urutan kegiatan acara ritual pemakaman dan kesepakatan urutan-urutan acara ritual lainnya.
Musyawarah dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dari keluarga. Setelah setelah itu baru ditunjuk beberapa keluarga terdekat untuk menyampaikan pesan atau kesan dari keluarga yang meninggal tersebut. Dalam bahasa lokalnya disebut dengan menutut. Baru dilanjutkan pesilaq Kiyai Lebe, kiyai Penghulu, Ketip, mudim, Kiyai Santri, tua lokak.
Pada prosesi pemandian kedua disebut mandi suci yaitu memandikan jenazah dengan air, kemudian dikafankan hingga disholatkan, lalu dikuburkan. Hingga adanya acara saur tanaq (artinya bumi yang digali untuk tempat pemakaman atau penguburan hingga tanah tesebut tahu fungsi dari susur tanah tersebut). Prosesi dipimpin oleh Kiyai, Lebe, kiyai Penghulu, Ketip dan Kyai mudim.
Setelah selesai menyelenggarakan menyelenggarakan penguburan, maka akan diperingati tindak lanjut dari acara ritual daripada prosesi kepaten. Mulai dari acara ritual hari ketiga disebut dengan istilah nelung, dan pada hari ketiga ini masyarakat diundang untuk melaksanakan ritual adat yang diselenggarakan di rumah duka. Pada hari kelima diadakan acara ritual taek ajian, acara ini dimaksud pada malam hari dilaksanakannya pembacaan alqur’an oleh para kyai di berugaq saka enam rumah duka pada malam hari.
No comments:
Post a Comment