Pawang Adat Bangket Bayan |
Oleh : Renadi, S. Pd
A. Pengelolaan sumber daya hutan adat
Komunitas adat Mettu Telu pada dasarnya adalah penganut agama Islam yang telah mengalami alkulturasi dengan adat-istiadat setempat. Dan menjalankan ritual secara Islam, namun mereka lebih menonjolkan kegiatan ritual-ritual adat yang hingga kini masih dipegang teguh. Dalam pengertian Mettu Telu terdiri dari dua kata yaitu Mettu dan Telu. Mettu berasal dari kata metu yang berarti keluar/ada. Sedangkan kata Telu artinya tiga. Secara terminologi, Mettu Telu dipahami sebagai paham yang menjalankan ritual adat yang mana dijalankan secara turun temurun.
Komunitas adat Mettu Telu meyakini alam semesta terwujud dalam tiga proses utama yaitu:
1.1 Menganak (melahirkan)
1.2 Menteloq (bertelur)
1.3 Tioq (tumbuh)
Dalam pemahaman kosmologis Komunitas Mettu Telu, proses kelahiran dimiliki oleh manusia dan hewan lainnya. Sedangkan yang bertelur terdapat pada unggas an beberapa hewan lainnya sedangkan tumbuh atau tiok terjadi pada setiap tumbuh-tumbuhan. Dalam keyakinan komunitas Mettu Telu semua mahkluk hidup tercipta dari tiga hal tersebut.
Ketiga konsep tersebut menurut keyakinan komunitas Mettu Telu harus dijaga keseimbangannya sehingga yang melahirkan, bertelur dan tumbuh akan tetap terjaga kelestariannya. Alam mikro kosmos bertugas (manusia) berkewajiban memelihara alam makro kosmos. Sehingga antara keduanya akan tetap seimbang dan lestari. Hutan sebagai bagian dari alam makro kosmos juga bagian yang harus mereka pelihara. Itu sebabnya selain lahan garapan yang dimiliki oleh setiap keluarga anggota komunitas Mettu Telu, mereka juga memiliki hutan adat yang dimiliki secara komunal yang dijaga secara bersama.
Hutan adat yang dimiliki oleh Komunitas Mettu Telu terdapat pada dua lokasi yang berbeda :
1. Hutan Adat Bangket Bayan seluas 19,354 Ha
2. Hutan Adat Ideq Gedeng seluas 48 ha.
Pengelolaan hutan adat tersebut dikelola oleh Masyarakat Adat yang mana masing-masing hutan adat memiliki situs dan yang menjaga situs dan hutan adat ada lembaga adat yang mana lembaga tersebut para pranata-pranata adat diantaranya, pemangku, pembekel, dan lembaga adat lainnya.
Dalam penjagaan dan pemeliharaan hutan adat komunitas Mettu Telu memiliki awik-awik adat terkait dengan pemeliharaan linkungan hutan adat. Dalam awik-awik yang merupakan keputusan yang telah menjadi kesepakatan komunitas Mettu telu disitu dituangkan sanksi-sanksi adat yang diberlakukan kepada komunitas adat Mettu telu dan masyarakat lainnya, baik dialkukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Sansi atau denda yang diberlakukan adalah sebagai berikut :
a. Apabila salah seorang/oknum merusak lingkungan ataupun mencemari mata air ataupun menangkap udang, tuna, dan sejenisnya menggunakan alat kimia seperti racun atau sejenis yang mematikan lainnya maka dia dikenakan sanksi berupa denda, uang bolong 244 kepeng, beras serombong, 1 ekor ayam, gula selongsor, kayu selemban, kelapa 2 butir.
b. Apabila salah seorang/oknum menebang kayu, mengambil rotan, ataupun merusak hutan yang ada dikawasan hutan adat maka dia dikenakan sanksi/denda, uang bolong 244 kepeng, beras setimbang/sebakul, 1 ekor ayam, kayu selemban, Gula merah selongsor, kelapa empat biji.
Hasil denda yang diperoleh akan diserahkan kepada pemuka adat untuk kemudian digunakan untuk acara ritual bersama pada setiap anggota komunitas. Dan pelaku yang dikenakan sanksi/denda dihadirkan untuk diadakannya ritual dan ternak besar maupun kecil yang diserahkan itu akan di konsumsi bersama dibalai adat seperti, Kerbau, kambing dan ayam dan di hudangkan kepada seluruh komunitas adat Mettu Telu. Jika pelaku pelanggaran yang diberikan sanksi/denda tidak bersedia membayar denda ataupun sanksi yang diberikan maka yang bersangkutan akan diekskomunikasi dalam masyarakat. Dan Mereka tidak akan dilayani dalam urusan adat ataupun kegiatan-keiatan ritual lainnya.
B. Pertanian dan peternakan
Masyarakat adat Mettu Telu pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani, Para petani akan bercocok tanam untuk memenuhi kehidupan seperti disawah dan di ladang. Selain untuk keperluan bahan makanan pokok, masyarakat adat menanam jenis padi bulu yang digunakan untuk ritual adat. Dan juga menanam padi biasa untuk dikonsumsi setiap hari. Masyarakat adat juga menanam bawang merah, kacang-kacangan. Dan hasil itu akan dipasarkan di pasar, dan hasil penjualan dapat digunakan untuk membeli berupa garam, gula, ataupun jenis kebutuhan lainnya yang tidak bisa diperoleh melalui system bercocok tanam.
Selain hidup sebagai petani dan buruh tani, umumnya komunitas adat Mettu Telu juga memiliki kegiatan seperti berternak kerbau, sapi, kambing, ayam, dan ternak lainnya. Ternak kerbau dan sapi adalah ternak yang digunakan untuk membajak sawah dan ladang pada musim kemarau dan musim penghujan, sedangkan khusus ternak kerbau bisa digunakan dua fungsi yaitu membole dan mengara. Sistem yang dilakukan oleh komunitas adat Mettu telu khusus pada kerbau membole dan juga membajak.
a. Membole, dilakukan dalam dua tahap yakni membole belesaq dan membole meletin. Membole melesaq, salah satu kegiatan yang mana kegiatan ini digunakan kerbau yang terdiri dari 15 atau 35 ekor, kerbau akan melakukan menginjak-injak tanah sehingga tanah menjadi gembur. Setelah dilakukan membole melesaq, maka dilanjutkan dengan mencangkul/memperbaiki pematang dapat bermanfaat menahan genangan air dan dapat pula ditanami biji-bijian. Selanjutnya membole meletin adalah salah satu kegiatan yang mana kerbau menginjak-injak tanah sehingga tanah siap ditanami (Adonis, 1989:16-17). Proses selanjutnya setelah “membolemeletin ” maka lahan persawahan tersebut dapat ditanami (melong).
b. Menggara (membajak), yaitu membongkar dan melumatkan tanah yang masih keras dengan menggunakan alat bajak yang disebut dengan lenggara setelah itu baru sawah di airi.
c. Menggau melesaq, proses kegiatan yang dilakukan untuk memecah dan meratakan tanah sehingga tanah menjadi lumat, setelah kegiatan ini dilakukan dilanjutkan dengan menambah (mencangkul) supaya pematang menjadi kuat, dapat menahan air, dan pematang pula dapat ditanami dengan biji-bijian ataupun sayur-sayuran.
d. Menggara membalik, pengolahan ini dimaksudkan untuk membalik tanah yang dibawah menjadi diatas dan kemudian digenangi air setinggi mata kaki orang dewasa.
e. Menggau meletin, proses ini digunakan alat gau (gau gareng, gau lampit,) untuk dapat meratakan tanah dan memecah tanah sehingga tanah akan menjadi lumat dan rerumputan membusuk akan menjadi pupuk kompos dan kemudian di airi.
Setelah prosesi ini selesai barulah bibit padi yang sebelumnya telah disemaikan dalam pembibitan siap untuk ditanamkan. Proses penanaman padi dalam bahasa komunitas Mettu Telu disebut dengan “Melong” yang dilakukan oleh anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan. Proses selanjutnya penyiangan dan perawatan hingga datangnya masa panen, yang dituai dengan cara menyabit padi yang telah menguning dengan menggunakan “Awis jami”.
Selain bertanam padi di Sawah, komunitas Mettu Telu juga menanam padi di ladang atau yang mereka kenal dengan “pare oma” dan juga ditanam palawija lainnya untuk keperluan keseharian mereka. Prosesi penanaman padi di ladang lebih sederhana, untuk memulainya dilakukan setelah turun musim hujan pertama.
C. Mekanisme ketahanan pangan
Pada dasarnya komunitas Mettu Telu telah memiliki tradisi pengaturan dan pengolahan pertanian serta menyimpan hasil panen untuk persediaan keseharian. Selain mereka bertanam padi di Sawah, mereka juga menanam padi di Ladang atau yang mereka kenal dengan “pare oma”. Selain dari penghasilan padi mereka juga menghasilkan tanaman dari sayur-sayuran, biji-bijian yang mereka dapat dari ladang. Dari hasil yang mereka peroleh baik dari sawah maupun ladang, hasil pertanian mereka dapat jual belikan. Sistem penjualan yang dilakukan oleh komunitas Mettu telu ada yang dijual langsung dipasar, ada pula yang dilakukan system barter. Khususnya padi bulu bagi pemahaman komunitas Mettu telu tidak boleh diperjual belikan, karena menurut pemahaman komunitas Mettu telu padi bulu adalah sumber kehidupan (rezeki), dan hanya boleh padi bulu dilakukan system barter. Barter pengertiannya system tukar dengan tidak menghitung nilai. Mereka akan memasarkan hasil pertanian lainnya di barterkan dengan kebutuhan lain yang tidak mereka produksi sendiri, sehingga mekanisme ketahanan pangan bagi mereka berlaku secara kekeluargaan dan saling tolong menolong dalam mekanisme barter yang masih berlangsung sampai sekarang. Yang boleh diperjual-belikan di pasar adalah beras padi biasa serta hasil tanaman palawija ataupun tanaman laiannya.
Bahan-bahan kebutuhan pokok baik yang dihasilkan dari pertanian mereka maupun yang diproduksi oleh masyarakat lainnya, termasuk yang dijual di pasaran, biasanya mereka akan saling bertukar (barter) satu sama lainnya. Satu keluarga akan melakukan pertukaran barang kebutuhan dengan keluarga lainnya untuk saling melengkapi kebutuhan pangan masing-masing. Tradisi ini terus berlangsung dalam Komunitas Mettu Telu, sehingga anggota komunitas akan saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan lainnya.
Selain mekanisme tukar, menukar (barter), komunitas Mettu Telu juga memiliki keterampilan mengolah bahan-bahan alam yang sangat berfariasi yang tersedia di daerahnya. Salah satu bahan pangan khas yang mereka olah adalah hati batang pisang atau yang mereka sebut “ares”, anak bambu atau yang lazim dikenal di Indonesia dengan sebutan rebung. Dengan kemampuan memanfaatkan dan mengelola tumbuh-tumbuhan yang ada di daerahnya, maka komunitas adat Mettu Telu cukup memiliki mekanisme ketahanan pangan.
D. Pengasuhan anak dan pendidikan remaja
Meskipun setiap adat budaya pada umumnya mengalami pergeseran seiring dengan perubahan zaman, namun banyak komunitas adat dan agama lokal terus berupaya mewariskan ajaran leluhur mereka pada generasi penerus. Dalam Komunitas adat Islam Mettu Telu, setidaknya menggunakan tiga pendekatan untuk melakukan pendidikan kepada generasi mudanya, baik untuk kepentingan membentengi generasi muda dari pengaruh globalisasi maupun untuk keperluan melestarikan tata cara pelaksanaan upacara dan ritual adat. Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh komunitas adat Islam Mettu Telu antara lain:
1.1 Budaya tutur. Para sesepuh atau tetua adat akan menuturkan tentang pentingnya generasi muda untuk mewarisi tata cara pelaksanaan ritual adat melalui pituah-pituah secara tidak langsung saat dilaksanakan upacara adat pada komunitas Mettu Telu.
1.2 Para tetua adat mengajak dan melibatkan anak-anak muda dalam pelaksanaan ritual atau upacara adat baik kepada kaum perempuan maupun laki-laki.
1.3 Dalam beberapa iven atau kasus, anak-anak muda dari komuitas adat Islam Mettu Telu diminta menjadi pelaku langsung dalam pelaksanaan ritual adat, terutama jika ada kaitannya dengan keluarga dekat yang bersangkutan.
E. Kesehatan dan Pengobatan tradisional
Komunitas adat Muslim Mettu telah memiliki dan mengenal pengobatan herbal hasil dari olahan rempah-rempah dan akar kayu tertentu. Tradisi mengolah obat-obatan herbal diramu oleh seorang ahli yang mereka sebut dengan medis tradisional. Namun demikian, selain menggunakan bahan alam dari rempah-rempah yang ada di lingkungannya, pembuatan atau peramuannya tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena mereka meyakini dalam membuat ramuan tersebut harus dimulai dengan ritual yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Ramuan obat ini mereka sebut minyak “Blonyo”. Minyak Blonyo mereka yakini sebagai obat yang memiliki 1001 khasiat, mulai dari penyakit luar, maupun penyakit dalam, baik yang bersifat medis maupun non medis, seperti pegal linu, masuk angin, diare, batuk, sakit kulit dan juga sakit-sakit kepala atau demam. Namun demikian, minyak blonyo juga punya kasiat sebagai obat kuat/stamina bahkan jika mereka meyakini akan berfungsi sebagai minyak “pelet” dan obat-obat yang disebabkan oleh makhluk halus.
Minyak Blonyo hanya diproduksi secara adat satu kali setahun, tepatnya pada hari puncak atau hari H acara Maulid Adat. Proses pembuatan minyak Blonyo juga sarat dengan ritual adat, dengan menggabungkan berbagai jenis rempah-rempah, seperti kunyit, kencur, merica dan akar daun tunas malem, kelapa Mareng atau yang mereka sebut dengan “Nyiur Mareng”.
Seluruh bahan yang sudah dikumpulkan akan dibawa kepada pemangku adat yang mereka sebut dengan “Amaq lokaq” yang berlokasi di tiga daerah. Pertama bahan-bahan dibawa ke Amaq Lokaq Loang Godek atau yang sering juga mereka sebut dengan “Amak Lokaq Parumbaq Lauq “ untuk dilakukan “ritual” . Selesai dari Loang Godek, kemudian rempah-rempah akan dikonsultasikan ke pemangku yang mereka sebut dengan “Amak Lokak Torean”. Setelah itu oleh “Amak Lokak Loang Godek” bahan-bahan tersebut dibawa ke pemangku Karang Bajo atau yang mereka sebut dengan “Amaq Lokaq Karang Bajo”. Setelah diadakan ritual oleh “Amaq Lokaq Karang Bajo”, bahan-bahan mentah diserahkan kepada seorang ahli pengolahnya yang mereka sebut dengan “Amaq Lokaq Penjeleng/pemangku penjeleng”.
Semua bahan baku ini diramu dan dikerjakan di rumah pemangku “Amaq Lokaq Penjeleng” dengan menggunakan kuali besar yang dipanggang di atas api menyala. “Amaq Lokaq Penjeleng” mengaduk-aduk dengan tangan kosong atau tidak menggunakan alat bantu. Bahan baku yang telah dimasukkan dalam santan kelapa tersebut dimasak beberapa lama dan diaduk-aduk menggunakan tangan kosong, setelah itu baru masyarakat akan mengantri untuk mendapatkan bagiannya dengan membawa tempat masing-masing. Pengobatan tradisional ini telah dijalani secara turun temurun oleh komunitas adat Muslim Mettu Telu.
F. Perawatan orang sakit dan Lansia
Sebagai komunitas yang umumnya masih memegang teguh tradisi kekerabatan komunalisme Komunitas adat Mettu Telu seperti halnya komunitas adat lainnya di Indonesia, mereka akan memikul tanggungjawab untuk merawat orang tuanya masing-masing yang telah lanjut usia. Pada umumnya masyarakat adat tidak mengenal panti jompo. Dan dianggap aib jika suatu keluarga menelantarkan orang tua masing-masing.
Bagi para lansia yang sudah tidak lagi produktif akan dirawat dan tinggal bersama dalam keluarga besar. Demikianpun para lansia atau orang tua yang sakit, jika sakitnya dikarenakan faktor usia, kebiasaan adat komunitas Mettu Telu akan merawatnya dalam lingkungan keluarga besar selain juga untuk berobat ke rumah sakit modern. Di dalam tradisi masyakat adat Mettu Telu setiap anggota keluarga perempuan dan laki-laki mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat orang tuanya yang telah lanjut usia atau anggota keluarga lanjut usia lainnya yang sedang sakit.
G. Pengurangan risiko bencana dan sistem peringatan dini
Mitigasi bencana yang dimiliki oleh komunitas Mettu Telu pada umumnya juga dimiliki oleh komunitas adat lainnya terutama mereka yang masih memiliki hutan adat secara komunal. Mereka akan memelihara kelangsungan dan kelestarian hutan yang mereka miliki. Itu sebabnya mekanisme adat yang diberlakukan bagi perusak hutan adat akan diberikan sanksi dalam bentuk denda dan sanksi sosial, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Pemberlakuan sanksi adat yang diberlakukan pada anggota komunitas yang merusak hutan adat tidak hanya berfungsi sakralitas atau megic, melainkan berangkat dari kebiasaan yang kemudian menjadi pengetahuan lokal dalam memelihara alam sekitarnya dari berbagai macam bencana. Sedangkan dalam hal pengurangan resiko bencana masyarakat Adat Mettu Telu juga pada masayarakat adat lainnya akan saling bergotong royong dalam membantu korban jika bencana harus terjadi.
H. Skema mikrokredit (permodalan Masyarakat) dan asuransi masyarakat
Sistem mikro kridit yang dikembangkan oleh Komunitas Mettu Telu dibangun dalam kesepakatan sewa menyewa. Hubungan ekonomi berangkat dari kebiasaan masyarakat setempat pemilik lahan, penggarap yaitu orang yang akan ikut ambil bagian dalam usaha pertanian. Sedangkan para penganggur adalah orang yang menjadi buruh atau membantu menanam padi, menyiang dan memanen. Mereka akan mendapatkan upah dengan tenaganya.
Dalam mekanisme sistem ekonomi, antara pemilik lahan dan penggarap akan sama-sama mendapatkan setengah bagian. Akan tetapi biaya pertanian akan ditanggung oleh penggarap. Dalam proses itu mereka mengenal hubungan ekonomis melalui tradisi sewa menyewa, yaitu:
1.1 Sewa musiman
Sewa ini berlaku untuk semusim panen atau satu masa tanam yang mereka sebut dengan “Sewa sekali Nanjek”. Pembayaran sewa akan diberikan pada saat hendak bertanam setelah masa panen lahan akan dikembalikan kepada pemilik lahan.
1.2 Sewa tahunan
Sedangkan sewa tahunan dimaksudkan sewa berlaku selama satu tahun dan selama setahun mereka akan mengelola lahan sesuai dengan keinginan penggarap. Namun kedua sistem tersebut tetap akan melibatkan para pengangguran untuk ikut membantu dengan upah harian.
No comments:
Post a Comment