Penyelesain
Permasalahan Masyarakat Adat Bayan
Setiap
wilayah maupun kelompok Masyarakat tentunya memiliki aturan local dalam setiap
penyelesaian yang timbul di Masyarakat. Aturan dan strategi yang diterapkan
terdapat perbedaan dan juga kemiripan, salah satunya kesamaan yang hampir
setiap wilayah di Indonesia adalah selalu dengan jalan Musyawarah. Musyawarah
merupakan dasar demokrasi dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada.
Masyarakat
Adat Bayan yang tinggal di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya dibawah kaki Taman
Nasional Gunung Rinjani juga memiliki aturan local atau awik-awik untuk
penyelesaian sebuah masalah. Dalam tulisan ini, terdapat dua permasalah dan
juga penanggulangannya secara adat atau aturan local yang menjadi pokok
pembahasan.
Permasalah
yang pertama adalah adanya tanah aguman gubuk (tanah komunitas adat Bayan) yang
telah dijual oleh salah satu orang yang juga sebagai Masyarakat Adat. Luas
tanah tersebut yaitu 200 M2, yang lokasinya di Bual, Desa Bayan. Orang yang
menjual tanah masyarakat adat tersebut juga tinggal disekitaran lokasi (namanya
sengaja tidak disebutkan).
Permasalahan
ini dilaporkan oleh salah satu Prnata Adat yang disebut Pembekel Loloan kepada
Kyai Pengulu. Pembekel Loloan adalah jabatan adat yang memang memiliki tugas untuk
menjaga dan melestarikan setiap aset yang ada di Bual. Sementara Kyai Pengulu
ini merupakan pimpinan keagamaan Masyarakat Adat yang ada di Kepembekelan
Loloan.
Berdasarkan
kesepakatan dari Pembekel Loloan dan juga Kyai Pengulu, permasalahan ini akan di
Musyawarahkan di Berugaq Kyai Pengulu yang lokasinya di Bat Orong, Desa Bayan.
Tempat ini disepakati karena sangat strategis untuk mengajak semua pihak dalam
bermusyawarah yang berada ditengah-tengah komunitas.
Dalam
pembahasan 2 masalah tersebut terdapat dua Kepembekelan Adat yang hadir, yaitu
Karang Bajo dan Loloan serta dari Pemerintah Desa Loloan. Dari Kepembekelan
Karang Bajo yaitu Pembekel Adat, Amaq Lokaq Pande, dan Amaq Lokaq Walin Gumi.
Sementara dari Kepembekelan Loloan yaitu Pembekel Adatnya, perwakilan dari
Masyarakat Adat batu Gerantung, dan Kyai Pengulu yang sekaligus sebagai tuan
rumah untuk melakukan Musyawarah Adatnya. Pihak yang hadir juga yaitu pelaku
yang telah menjual Tanah Adat yang didampingi oleh salah satu Kayai Santri dari
Bual.
Musyawarah
penyelesaian masalah dibuka oleh Kyai Pengulu dengan menanyakan secara langsung
kepada pihak pelaku yang telah menjual tanah tersebut, yang pada saat itu ikut
hadir, dan pelakupun mengakuinya bahwa memang benar tanah masyarakat adat yang
luasnya 200 M2 itu telah dijual kepada pihak luar dari Masyarakat Adat Bayan
(nama pembeli sengaja tidak disebutkan).
Alasan penjual
adalah orang yang tinggal dilokasi tanah tersebut bukan dari garis keturunan
atau prusa yang semestinya, alasan lain karena kebutuhan ekonomi yang sangat
mendesak, dan juga dengan adanya Surat Penagihan Pajak Terutang (SPPT) atas
tanah tersebut sehingga dianggap sudah menjadi tanah pribadi bukan lagi tanah komunitas
Masyarakat Adat Bayan, ditambah lagi yang tercantum dalam SPPT adalah nama saya
(ujar pelaku yang telah menjualnya).
Pengakuan
yang telah disampaikan oleh pihak penjual menjadi awal untuk diskusi dalam
mencapai solusi yang terbaik. Dengan pengakuan inilah sehingga salah satu tokoh
Masyarakat Adat dari Desa Loloan (tidak disebutkan namanya) memberikan
penjelasan tentang kekutan hukum dari SPPT dan juga tentang tanah masyarakat
adat.
“SPPT bukan merupakan bukti
kepemilikan, hanya sebgai acuan untuk nilai nominal yang harus dibayarkan untuk
membayar pajak kepada Kabupaten serta Pemrintah Pusat. Bukti kepemilikan itu
adalah sertifkat atau pipil garuda”.
“Apapun yang menjadi aset
masyarakat adat memang tidak boleh diperjual belikan, tanpa adanya keputusan
dari masyarakat adat melalui proses musyawrah”.
“Terkait dengan pihak pembeli,
tentunya ini merupakan kerugian untuk dirinya, karena telah berani membeli
lahan tersebut tanpa bukti kepemilikan yang syah”.
Kyai Santri
yang mendamping penjual memberikan pernyataan untuk menguatkan pernyataan
diatas, serta memberikan saran untuk solusinya “jalan terbaik terkait permasalahan ini adalah dengan menggagalkan
transaksi jual beli tersebut”.
Beberapa
pendapat yang telah disampaikan oleh peserta musyawarah mendapat kata sepakat
untuk menggagalkan transaksi jual beli yang telah dilakukan. Pihak penjual juga
siap mengembalikan uang yang telah diambil dari pembeli yang jumlah sebesar Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah), dan transaksi ini juga belum dibuatkan surat
jual beli, baik ditingkat desa maupun notaris (ujar penjual).
Permasalahan
yang kedua yaitu telah dijualnya pasir oleh sekelompok masyarakat yang ada di
Dusun Batu Gerantung. Masyarakat yang menjual galin C tersebut juga merupakan
bagian dari komunitas Masyarakat Adat Bayan. Lokasi pasir yaitu di sebelah
barat Gedeng Lauq yang juga merupakan aset Masyarakat Adat Bayan.
Permasalahan
ini diminta keterangan Kepala Desa Loloan yang juga hadir pada saat itu untuk
menjelaskan kronologinya.
Kepala Desa
Loloan yang saat ini masih pejabat sementara dari staf Kecamatan Bayan (nama
tidak disebutkan) langsung menaggapi apa yang disampaikan Kayai Pengulu untuk
menjelaskan kronologinya.
“Pada awalnya memang perwakilan
masyarakat dari Batu Gerantung telah meminta ijin kepada pihak pemerintah Desa
loloan untuk menjual pasir yang ada disebelah barat Gedeng Lauq untuk dijual
kepada pihak lain yang saat ini sedang membangun tambak udang, tetapi hal itu
kami sanggupi atau memberikan ijin dengan syarat harus ada iuran untuk Desa dan
juga ke Gubuk Masyarakat Adat, dan merekapun menyanggupinya”. Setelah berjalan
sekitar 2 minggu, baru ada iuran yang dibawa ke Desa sebesar Rp. 200.000,- (dua
ratus ribu rupia), dan itupun tidak ada iuran yang masuk kepada Masyarakat
Adat, sehingga dari Pemerintah Desa Loloan tidak menerima dana tersebut dan
menyarankan untuk diserahkan kepada Masyarakat Adat. Jika dilihat dari pantauan
Pemerintah Desa, seharusnya dana yang diserahkan sebenarnya harus lebih banyak
dari itu, karena pasir yang dijual dengan harga Rp.100.000/dam diperkirakan
selama 2 minggu itu mungkin mencapai ribuan dam. Sebenarnya, kesepakatan yang
telah dicapai besaran iuran yang harus diserahkan adalah Rp. 10.000/dam, Rp.
5.000 untuk Desa Loloan dan Rp. 5.000 untuk Masyarakat Adat.
Dana yang
disarankan oleh pemerintah desa untuk diserahkan kepada Masyarakat Adat melalui
Pembekel Loloan itu ternyata tidak terima oleh Pembekel Adatnya (berdasarkan
keterangan dari Pembekel Loloan).
Melihat
permasalah yang terjadi inilah sehingga peserta rapat yang hadir sepakat untuk
ditindak lajuti oleh Pemerintah Desa Loloan mengadakan Musyawarah lanjutan
ditingkat desa dengan menghadirkan masyarakat yang menjual pasir tersebut dan
juga perwakilan tokoh adat (pejabat adat) yang hadir pada saat ini. Kepala Desa
Loloanpun menyanggupi hal tersebut, dan terkait waktu pelaksanaanya akan
dibicarakan terlebih dahulu dengan para staf yang ada di Desa Loloan.
Melihat
kondisi Masyarakat Adat yang ada di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara dengan
adanya permasalahan yang seperti ini tentunya membutuhkan legalitas yang diatur
melalui Peraturan Daerah, sehingga tugas dan wewenang Masyarakat Adat dengan
pemerintah bisa menjadi lebih jelas.
Kami juga
bersyukur, karena memang pada tahun 2017 ini Peraturan Kabupaten Lombok Utara
tentang Masyarakat Hukum Adat sedang dibahas dan mudah-mudahan atas dukungan
semua pihak bisa berjalan dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan dan
juga kebutuhan Masyarakat Adat Bayan pada khususnya dan Masyarakat Adat Lombok
Utara pada umumnya.
Untuk
catatan kecilnya, saya sebagai penulis sudah melakukan diskusi kecil untuk
menyepakati tidak mencantumkan nama-nama yang terlibat dalam permasalahan ini,
karena dalam kehidupan Masyarakat Adat Bayan tidak diperbolehkan membuka aib
seseorang, sehingga bagi pembaca yang ingin mengetahui nama-nama personal maka
disarankan datang langsung ke para tokoh adat/pejabat adat Bayan yang ada di
Lombok Utara.
No comments:
Post a Comment