Masyarakat luas saat ini banyak yang menganggap bahwa tradisi Kawin Lari merupakan bentuk budaya yan tidak patut dipertahankan, lebih-lebih ini terjadi di daerah yang terkenal dengan sebutan 1.000 Masjid. Lombok yang mayoritas muslim ini sebagian besar memang mesih menjadikan tradisi bersatunya insan dengan Kawin Lari.
Kesan yang pertama kali muncul adalah kebiasaan perkawinan tanpa restu orang tua, sehingga laki-laki yang mengambil perempuan sering kali disebut dengan maling. Banyak juga yang menyebut tradisi Kawin Lari itu Memaling.
Disisi lain, banyak kalangan yang saat ini fokus pada perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan dalam beberapa undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak sekali yang mengatur tentang Hak – Hak Manusia sebagai warga Negara ataupun Hak Dasar yang sudah melekat sejak lahir.
Kembali pada Kawin Lari atau Memaling dalam perkawinan di Lombok, bisa kita ambil sudut pandang umum atau public dengan situasi yang ada saat ini. Setiap keluarga ataupun orang tua selalu ingin melihat anak-anaknya menikah atau berkeluarga yang diperkirakan mampu membahagiakan anaknya. Atas dasar tersebut biasanya orang tua memiliki kriteria, apakah seorang menantu harus kaya, punya pekerjaan tetap, keturunan orang yang terhormat, dan lain-lain.
Apakah kriteria tadi jika terpenuhi sudah bisa dipastikan setiap anak gadis atau perjaka akan bisa mencintai sosok tersebut?.........Jawabannya belum tentu.
Jangankan orang tua atau keluarga yang memiliki kriteria, bahkan jika kita sendiri yang menjalani terkadang punya kriteria, tetapi dengan berjalannya waktu serta bertemu banyak lawan jenis, justru rasa cinta, rasa suka, dan rasa sayang bisa saja muncul di saat ketemu dengan orang yang berbanding 180 derajat dengan apa yang kita harapkan.
Hubungan keluarga suami istri merupkan hubungan yang setiap orang menginginkan status keluarganya dipisahkan oleh kain kavan, atau sampai akhir hayat. Hampir setiap hari selalu bersama, akan terdapat banyak suka dan duka yang harus dijalani selama hidup. Saling melengkapi satu sama lain atas kekurangan yang dimiliki pasangan.
Jika terdapat hubungan yang didasari atas unsure paksaan, maka sangat besar kemungkinan hidup seseorang yang berkeluarga tidak bisa merasakan suka duka bersama. Cenderung ingin merasakan suka, dan saat duka akan menjadikan situasi tersebut atas kesalahan orang lain yang menyuruhnya menikahi pasangannya sekarang, dan orang yang disalahkan bisa saja orang tua atau keluarganya.
Di Lombok dengan 1,000 masjid ini yang mayoritas muslim sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Setiap orang yang akan berkeluarga diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan pendamping hidupnya. Orang Tua, keluarga, dan sahabat berperan dalam memberikan pendidikan untuk memilih pendamping yang baik, tapi tidak berhak menentukan pilihan seseorang pada sosok atau orang tertentu.
Hal itulah sebagai dasar utama Kawin Lari atau istilahnya banyak disebut Memaling bertahan sampai saat ini. Masyarakat Lombok sangat memahami bahwa jodoh, maut, dan rizki itu merupakan rahasia sang Pencipta. Tidak diperbolehkan orang lain mencampuri kuasa Tuhan yang sudah melekat pada diri seseorang sejak lahir.
Tentu dari artikel ini banyak pihak yang tidak setuju, tetapi jika Anda bukan orang yang menjalankan tradisi ini maka jangan lakukan, dan jangan juga menganggap orang Lombok yang mesih menjalankan Kawin Lari adalah kelompok yang bertentangan dengan Agama, Negara, atau menjust pada hal-hal yang negative.
Bahkan jika Anda yang penasaran dengan makna-makna yang lebih mendalam di Perkawinan Adat atau Budaya Lombok, Anda bisa datang langsung menanyakannya pada Nara Sumber dan Tokoh-tokoh Budaya yang ada di Pulau Lombok, atau bisa juga berbagi di kolom komentar.
Tidak ada yang mutlak dalam dunia ini, yang ada hanya kesepakatan.
Tidak ada yang tetap dalam kehidupan ini, kecuali perubahan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment