Rinjani merupakan salah satu gunung yang menjulang tinggi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keberadaan gunung ini sebagai salah satu destinasi wisata pendakian pavorit bagi wisatawan mancanegara ataupun doemstik. Memiliki pemandangan yang menakjubkan mata serta Danau Segara Anak membuat daya tarik yang memikat setiap orang yang datang.
Letusan Gunung Samalas (lontar Babat Lombok) di tahun 1957, membentuk kaldera dan dalam waktu yang panjang menjadi tempat hidup ikan air tawar. Dahsyatnya gunung merapi kala itu mengakibatkan berbagai negara mengalami musibah besar, bahkan sampai eropa (Inggris). Material dari letusanpun ditemukan oleh para peneliti dunia di kutub utara.
Memiliki gunung merapi aktif dengan ketinggian 3726 MDPL dengan pulau yang kecil, mengakibatkan Lombok sebagai salah satu wilayah yang rawan kebencanaan. Tidak hanya itu, pulau yang dikenal dengan 1,000 masjid ini juga gempa kerap terjadi. Cincin api sangat erat hubungannya dengan keberadaan Gunung Rinjani yang masih aktif.
Beberapa bencana alam yang pernah terjadi atau berpotensi diantaranya letusan gunung, gempa, longsor, banjir. Musibah yang begitu mengerikan ini menjadikan Masyarakat lokal yang dikenal dengan Masyarakat Adat Bayan memiliki pengetahuan tentang bagaimana menghadapi tantangan alam lewat pengalamana ratusan tahun. Bagaimana menghadapi bentuk rumah, dimana lokasi ataupun bentuk tanah yang baik untuk membangun tempat tinggal.
Kali ini kita akan fokus bagaimana cara Masyarakat Adat Bayan melihat Rinjani dari sisi sejarah dan seberapa pentingnya gunung bagi kehidupan makhluk di pulau Lombok.
Seluruh area gunung yang saat ini menjadi Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupajan tempat yang dianggap sebagai Gumi Dalem. Gumi Dalem merupakan tempat yang sangat disakralkan, dimana aktifitas manusia sangat dibatasi karena sumber penghidupan yang sangat penting seperti udara dan air. Sebagian besar warga Lombok mendapatkan air untuk kehidupan dari Area Rinjani atau Gumi Dalem.
Menjaga kelestarian Gumi Dalem ini terdapat 3 pejabat adat yang diberikan tanggung jawab, yaitu Amaq Lokaq Senaru, Amaq Lokaq Torean, dan Amaq Lokaq Sajang. Amaq Lokaq Senaru bertanggungjawab untuk jalur Senaru, Amaq Lokaq Torean untuk jalur Torean, dan Amaq Lokaq Sajang untuk jalur Sembalun.
Dulu, ketiga Amaq Lokaq ini memiliki peran penting untuk menjaga wilayah masing-masing. Setiap orang yang mendaki harus atas ijin mereka. Sekarang ini sangat berbeda, semua pendaki hanya butuh bayar tiket kepada pihak TNGR.
Awik-awik atau aturan lokal yang dibuat oleh Masyarakat Adat Bayan seakan tidak memiliki taring, lumpuh dihadapan undang-undang yang dibuat oleh negara. Disisi lain, Gumi Dalem yang sakral dijadikan sebagai tempat untuk mendaptkan uang sebanyak-banyaknya dari setiap wisatan.
Alasan ekonomi menutupi peran penting yang ada. Perlawanan Masyarakat Adat sendiri tidak maksimal, karena tidak memiliki legalitas hukum sebagai Masyarakat Adat. Kelompok pemerhati berjuang melalui kelompok-kelompok kecil, dan belum memiliki power atas kepentingan bersama.
Situasi ini menjadi ruang bagi kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik atas nama masyarakat lokal atau Masyarakat Adat, maupun atas kepnetingan bisnis pariwisata. Munculnya Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) meraja lela disetiap desa, termasuk desa-desa yang berada dilereng rinjani. Mereka membuat gunung menjadi obyek wisata untuk mengumpulkan banyak uang.
Sang pemilik asli terpinggirkan, meraka bahkan masuk sebagai bagian dari bisnis pariwisata. Porter dan Guide adalah pekerjaan yang paling banyak melibatkan para anak muda. Meskipun ada yang sebagai Team Organizer (TO) hanya segilintir orang.
Fungsi Gumi Dalem sebagai sumber penghidupan menjadi sumber ekonomi. Dampak negatif pariwisata seperti sampah dan tanaman yang rusak menjadi bom waktu untuk pulau kecil di Lombok.
No comments:
Post a Comment