Bagi Indonesia, sumberdaya alam hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai “bangsa”. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam hal kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan dan keragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini ( mega-cultural diversity).
Ketergantungan dan tidak-keterpisahan antara pengelolaan sumberdaya hayati ini dengan sistem-sistem sosial budaya masyarakat lokal bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan sebagai sistem-sistem ekonomi yang beragam dengan pranata ekonomi yang juga beragam. Untuk melihat lebih jauh keberadaan pranata ekonomi komunitas ini, akan lebih khusus menyajikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat yang sebagian sistem penyangga kehidupannya masih berlandaskan pada sistem nilai, pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional dan saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang. Untuk acuan batasan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur
oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (“Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara” tahun 1999).
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga, mengelola, memper kaya dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam hayati di wilayah adatnya masing-masing. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia di pedesaan masih memiliki pranata adat dalam pengelolaan sumber -sumber ekonomi lokal. Membicarakan sistem ekonomi lokal pada masyarakat adat sama dengan membicarakan kehidupan mereka secara menyeluruh. Sistem ekonomi lokal ini, yang umumnya mengandalkan pada sumberdaya alam, berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat baik menyangkut tata kuasa dan tata kelolanya.
Satu komunitas masyarakat adat umumnya telah mewariskan suatu sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sistem-sistem lokal ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih tinggi dari yang ditemukan pada suku Dani di
Palimo, Lembah Baliem, yang hanya 74 varietas ubi.
Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, leng kap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi pada komunitas-komunitas adat “Dayak” di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur. Dari sisi produksi barang ekonomi, wilayah hidup komunitas-komunitas adat ini umumnya terbagi dalam 3 macam wilayah kelola, yaitu:
(a) wilayah 2 budidaya, (b) wilayah berburu dan memungut hasil alam secara langsung, dan (c) wilayah penyangga antara kegiatan budidaya dan pemungutan hasil alam secara langsung. Pengaturan-pengaturan dan kelembagaan ekonomi di masing-masing wilayah kelola ini berbeda dari satu komunitas ke komunitas yang lain sesuai dengan tingkat kelangkaan sumberdaya masing-masing. Pengaturan terhadap penguasaan/pemilikan dan pengelolaan sumberdaya ekonomi di wilayah budidaya, yang umumnya sudah didominasi oleh tanaman-tanaman monokultur dengan alas hak “penguasaan” yang individual/keluarga, pada umumnya lebih ketat dibandingkan dengan wilayah lainnya yang masih didominasi oleh tumbuhan alam yang beragam dengan alas hak “penguasaan” yang komunal.
Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip ekonomi yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas
masyarakat adat, yaitu antara lain:
1. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang
harus dijaga keseimbangannya;
2. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal, dan juga mengendalikan perpindahan sumber-sumber ekonomi ke pihak luar;
3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (‘pemerintahan’) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan (“serakah”), baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas;
5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Bagaimanapun, komunitas-komunitas masyarakat adat ini telah bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefinisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya alam lokal untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. (AMAN)
No comments:
Post a Comment